» » Cedera Cinta Pak Beye

Cedera Cinta Pak Beye

Penulis By on 08 March 2011 | No comments

Keinginan Presiden SBY (Pak Beye) untuk merombak tatanan Kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat untuk mengikuti system demokrasi yang diinginkannya, bukan sekedar guliran wacana. Pak Beye benar-benar serius. Itu subjektifitas Saya setelah menyimak headline Kompas hari ini, yang bertajuk Warga Dukung Penetapan, Ketua DPD Demokrat GBPH Prabukusumo mundur.

Pak Beye dengan kekuatan kekuasaan yang dimiliki sebagai orang nomor satu di negeri ini benar-benar dimanfaatkannya. Pak Beye telah mampu mengkotak-kotakkan kondisi Jogja hari ini. Mungkin ekstrim kalau Saya menyebutnya sebagai politik devide at impera, yang popular di zaman Hindia Belanda dulu. Tapi itu yang terasa. Pak Beye begitu cerdas memantik debatable elemen masyarakat.

Bahkan Ilmu Akademi UGM pun ikut membuat draft bagaimana seharusnya Jogja, pasca statemen monarki Pak Beye. Padahal, kalau mau jujur, Jogja hanya butuh status quo, jangan di ubah-ubah. Biarkan saja seperti yang pernah terjadi di zaman Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur ataupun Megawati. Toh, Jogja tetap tunduk dengan NKRI, toh monarki Jogja tetap mengikuti demokrasi yang terbangun di negeri ini. Toh, Jogja malah adem ayem, dan Sri Sultan HB-X dan Adipati Paku Alam VIII juga tak pernah tersentuh isu korupsi, yang justru banyak diperagakan oleh orang-orang ahli demokrasi.

Mundurnya Prabukusumo selaku ketua DPD Partai Demokrat ’buatan’ Pak Beye, dan keinginan kuat mayoritas warga Jogja, adalah kulminasi dari ketidakpuasan elemen Jogja atas keinginan kuat Pak Beye tersebut. Cinta orang Jogja  seolah tercederai, dan itu semua berawal dari keinginan kuat pak Beye, yang ingin menerapkan demokrasi seluas-luasnya dalam semua sendiri kehidupan masyarakat.

Harga Diri Orang Jogja
Raja dan rakyat Jogja begitu menyatu, cinta mereka pada wilayahnya benar-benar tidak bisa terukur. Secara psikologis bisa dipahami, kalau sebenarnya warga Jogjakarta yang berpikir positivisme terhadap apa yang ada disekitarnya menjelma menjadi pikiran Konstruksional kritis pada kebijakan-kebijakan Pak Beye. Naluri kedaerahan mereka seolah terkoyak, cinta mereka tercederai, sehingga wajar kemudian bila orang Jogja menyebutnya, ini harga diri, ini Jogja, bukan Jakarta!

Pernyataan GBPH Prabukusumo yang juga adik Sri Sultan HB-X saat pengunduran dirinya selaku ketua DPD Partai Democrat  semalam di Hotel Bintang Kota Gede, yang mengatakan ”Saya memperjuangkan penetapan, karena membela harga diri dan martabat Sri Sultan HB-IX” adalah sebuah pernyataan emosional dari seorang putra Raja yang merasa tersepelekan.

Tulisan ini tidak bermaksud mengkultuskan seorang Raja Jawa dan pernik istana Keraton Ngayogyakarto Hadingrat, dan kemudian menyepelekan seorang kepala negara sekelas Pak Beye. Namun menjadi sebuah pertanyaan, apakah Jogja akan hidup lebih baik nantinya bila Gubernurnya di pilih dan Sultan hanya berperan sebagai Paradhya?

Jika seorang gubernur yang selama ini inklude dipegang seorang Sultan, dan memimpin warganya dengan tenang, diakui keberadaannya, ngemong, serta mampu berbagi meski ada perbedaan kasta antara seorang Raja dan Rakyat ’nyaman-nyaman’ saja, kenapa harus di ubah?. Apakah ada tendesi lain dari itu? Apakah memang Jogja akan dihapus dalam sejarah panjang bangsa ini sebagai negeri kesultanan yang ’ikhlas’ menyerahkan kedaulatannya??

Bayangkan, dalam draft yang diusung pemerintah pusat tentang Jogja, salah satunya membahas posisi Sultan yang berkedudukan sebagai ’Paradhya’. Apa itu? Parardhya adalah Sri Sultan HB dan Adi Pati Paku Alam yang bertahta secara sah. Pardahdhya merupakan satu kesatuan yang berfungsi sebagai simbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu masyarakat DIY. Namun Gubernur dan wakil gubernurnya dipilih secara langsung, sesuai dengan mekanisme perundang-undangan.

Kata simbolik, kata pelindung dan pengayom adalah dua kata yang sangat kontradiktif dengan apa yang kemudian bakal terjadi. Bisa dibayangkan kalau Sultan dan keratonnya hanya sebagai simbol dan pemelihara budaya semata? Duh ibarat museum yang menunggu sumbangan para dermawan.. Dilain sisi sebagai pelindung dan pengayom, tapi kemudian ada gubernur dan wakil gubernur yang dipilih secara langsung? Tentu ini sebuah benturan yang bakal terjadi dikemudian hari.

Mungkin lima tahun kedepan belum terasa...tapi secara perlahan kita membunuh kekayaan di negeri sendiri. Kasihan Jogjakarta!!

Catatan di sore hari, Jakarta, 9 Desember 2010
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments