» » Janda Muda, Barang Bekas, dan Persaudaraan ala Vespa

Janda Muda, Barang Bekas, dan Persaudaraan ala Vespa

Penulis By on 08 March 2012 | 2 comments

Tiba-tiba saya ingin bertanya, mengapa tidak sedikit artis cowok memilih pasangan justru berasal dari wanita berstatus janda. Saya ingat Raffi Ahmad yang enjoy bersama Yuni Sara, terus pesepakbola Gunawan Dwi Cahyo mempersunting janda Pasha Ungu, serta sejumlah deretan nama artis lainnya. Saya pikir ada kelebihan tertentu yang dimiliki seorang janda hingga banyak bujangan tergila-gila padanya. Padahal dari angka-angka statistik kependudukan negeri ini, wanita jauh lebih banyak dari pria. Ini berarti secara matematis, pria akan memilih wanita yang sederajat dalam posisi kehidupannya, yakni sama-sama ‘bujang’. Asumsi subjektif saya, biarlah janda itu milik kaum duda, atau pria yang suka berpoligami.

Apakah karena seorang janda sudah terbiasa, sehingga tak perlu capek-capek belajar membangun keluarga? Ataukah posisi janda memang membenarkan asumsi jika ia punya magnet kuat dan menggairahkan di ranjang (khususnya janda muda), sehingga banyak bujangan tunduk padanya? Apalagi kalau jandanya itu adalah Manohara dan kawan-kawan sejenisnya? Waduh, kalau yang ini pasti banyak menimbulkan kontra-persepsi jika dijadikan pembahasan utama. Tapi yang pasti, janda kini tak layak lagi dipersepsikan sebagai status yang tabu di masyarakat. Bagi saya, status janda bagi wanita muda, hanyalah sebuah bentuk proses kegagalan dalam mengarungi bahtera keluarga. Tidak lebih dari itu.

Lalu mengapa seorang janda begitu melekat di benak publik dan kerap dipersepsikan sebagai ‘kaum terlecehkan’? saya memandangnya dari beberapa sisi. Salah satunya bahwa khalayak kita sangat gandrung untuk mempersoalkan hal-hal simbolik tanpa mengetahui latar belakang mengapa simbol itu lahir. Seorang Janda muda selalu saja disimbolkan sebagai sesuatu yang liar, haus, dan tahu cara serta trik memberi kepuasan. Itulah mengapa pria begitu bersemangat seperti ingin ‘menguliti’ jika tahu jika lawan bicaranya adalah seorang yang berstatus janda muda.

Sisi lainnya, media juga sangat berperan dalam membentuk presepsi seperti itu, melalui film, novel dan artikel-artikel romantik yang jarang sekali mengungkap ‘ke-alim-an’ seorang janda. Justru sebaliknya, dalam membuat alur cerita, janda muda selalui saja tereksplore sebagai sosok mahluk yang mengundang birahi, menimbulkan kepuasan, nyaman dan hangat. Jika tak percaya, Anda bisa men-search kata ‘janda’ melalui google dan sejenisnya. Pasti yang muncul adalah sesuatu yang membuat lelaki bernafas panjang.

Maaf..saya memulai tulisan ini dengan ingatan terhadap seorang janda, yang sebenarnya adalah pengalaman  baru, jika ternyata sebuah benda yang berstatus barang bekas di Jakarta, jangan langsung dibuang, sebab di mata orang lain, itu adalah bisnis yang menguntungkan. Itu pengalaman ketika ingin membeli plat jok vespa, tunggangan yang amat saya banggakan saat ini. Begitu sulit mendapatkannya. Hampir semua toko onderdil Vespa di Jakarta, dari kawasan Otista, Galur hingga Tanah Abang, semua pemilik tokonya mengatakan “maaf plat dudukan jok itu tidak di produksi lagi! Kalau mau cari silahkan tanya di bengkel-bengkel Vespa”.

Saya langsung berfikir jika sebenarnya barang itu ada, tetapi statusnya sebagai ‘barang bekas’. Benar saja, tak lama kemudian saya mendapatkannya pada sebuah bengkel dengan harga yang hampir sama dengan barang barunya. “Ini orsinil Bang! masih kokoh, kuat. Kalau udah dipermak, sangat cantik dan menawan” kata si penjual, seolah mempersonifikasikan barang bekas itu sebagai sosok wanita cantik.

Dasar memang lagi butuh, tanpa tedeng aling-aling, saya membayarnya, lalu minta merawat dan menyepuhnya dengan warna sesuai selera saya. Hasilnya memuaskan. Gak ada bedanya dengan yang baru. Sama seperti seorang wanita muda yang sudah bercerai dengan suaminya, jika disepuh, dipermak, maka ia akan tampil sebagai perempuan yang menawan, meski statusnya tetap saja sebagai janda.

Artinya, saya ingin mengatakan kepada pembaca, jangan pernah menganggap enteng pada sebuah benda bekas, sebab ia akan sangat bermanfaat jika Anda ingin membutuhkannya apalagi terkait dengan benda yang Anda amat senangi. Sekali lagi, jangan pernah meremehkan sekecil apapaun apa yang ada di sekitar Anda, sebab suatu saat ia akan menjadi hal yang penting dalam hidup Anda. Seperti saya memandang plat jok pada vespa kesanyangan saya.

Vespa di Jakarta ini juga sesuatu yang baru di mata saya. Tidak sekedar memaknainya sebagai tunggangan yang mengantar saya kemana saya mau. Tetapi lebih dari itu, saya menemukan titik-titik humanisme yang menawarkan persaudaraan hakiki. Memiliki Vespa di Jakarta, seolah mengepakkan sayap-sayap persaudaraan. Saya tak tahu apakah organisasi pencinta skuter memang membuat aturan main seperti itu? ataukah memang Vespa mampu menumbuhkan sikap spontanitas untuk saling menyapa di jalanan? Bagi saya ini benar-benar sesuatu yang baru di tengah dinamika warga Jakarta yang diselimuti sikap egois dan tak peduli dengan yang lainnya?

Rasanya, tak salah mengoleksi motor khas Italia ini, meski kerap orang mempersepsikan Vespa sebagai kendaraan yang merepotkan, dan tak mudah ditunggangi. Padahal sebaliknya, Vespa sangat nyaman (asal lengkap tentunya), mesinnya bandel, gampang dimodifikasi, menimbulkan rasa percaya diri, dan yang terpenting membangun ikatan persaudaraan yang kuat sesama pencinta Vespa. Saya tak pernah membayangkan, sesorang pengguna Vespa tiba-tiba mendekat, mengajak berkenalan, minum kopi bareng, dan berbicara tentang hal-hal kemanusiaan. 


Saya juga tak pernah membayangkan, begitu mudahnya sesorang pengguna Vespa melambaikan tangan, membunyikan klakson ketika melintas dan melihat kita juga menggunakan Vespa. Sungguh sebuah kebaikan yang terbangun dari ikatan emosional dari sosok benda bernama Vespa ini. Saya yakin Anda yang menungangi motor ini, juga merasakan hal yang sama. Yang pasti, jangan pernah ragu untuk menggunakannya.

Saya pikir, dari persoalan janda muda, barang bekas, hingga persaudaraan ala vespa ini, ternyata ikut membenarkan sebuah persepsi, bahwa khlayak kita memang menyukai hal-hal yang berbau simbolik. Sama ketika bicara soal Presiden SBY selalu saja disimbolkan sebagai presiden yang gagal, dekat dengan sistem yang koruptif, suka pencitraan dan tidak sense atas penderitaan rakyat karena keinginan menaikkan harga BBM.

Sama seperti kita memandang anggota DPR, yang selalu saja disimbolkan sebagai wakil rakyat yang tak bisa mengurus aspirasi dan derita rakyat Indonesia yang hidup digaris kemiskinan, dan lebih suka membahas ‘rok mini’ dan berprilaku hedonis dengan fasilitas yang sangat mewah. Entalah, kita hanya menunggu sebuah kepastian di negeri ini. Kepastian akan sebuah kesejahteraan rakyat, yang akan datang layaknya janda muda yag menggiurkan. Menunggu kepemimpinan nasional kita dan membuang prilaku koruptif seperti membuang barang barang bekas ke dalam tong sampah dan tak perlu dicari lagi. Kalaupun kita mencarinya lagi, ia akan datang dengan warna baru, bermental baja untuk memperjuangkan kemandirian rakyat, dan posisinya sangat dibutuhkan seperti plat jok vespa yang sangat saya butuhkan. Dan, kita juga menunggu nasionalisme bangsa kita terbangun tanpa rasa perbedaan, seperti lambaian tangan pengguna Vespa di jalan-jalan ibukota yang padat dan macet.

Bagaimana respon Anda? Selamat membaca.
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments

2 komentar

ridobrown September 4, 2012 at 10:37:00 AM GMT+7

salam kenal dari ridobrown wordpress com... kita sama-sama memiliki hobi yang sama.. VESPA...

Anonymous November 7, 2012 at 1:24:00 PM GMT+7

ngomongnya ga jelas. kayak orang stress..atau emang lagi stress? kesana kemari, tidak teratur.