» » » 5 Jam Bersama Prabowo Subianto

5 Jam Bersama Prabowo Subianto

Penulis By on 23 December 2012 |

SEHARI sebelum H. Prabowo Subianto berziarah ke makam ibundanya (Almarhum Ibu Dora Sigar) di Sulawesi Utara yang jatuh bersamaan hari ibu 22 Desember 2012 lalu, saya mendapat kehormatan bertamu dikediaman beliau di Bojong Koneng Bogor-Jawa Barat. Saya menganggap kehormatan, sebab anak daerah ‘sekelas’ saya amat jarang bisa bertemu dengan sosok yang dibicarakan banyak orang sebagai Capres paling populer di Indonesia saat ini, seperti yang digambarkan beberapa lembaga survey. Apalagi pertemuan dengan Pak Prabowo ‘tidak tanggung-tanggung’, berbicara langsung dalam waktu yang cukup lama. 5 Jam!. Ya, saya diterima Pak Prabowo sejak pukul 10.00 WIB dan berakhir di pukul 16.00 WIB. Jeda pembicaraan kami, hanya waktu shalat zhuhur dan makan siang.

Awalnya, saya berpikir panjang dan bertanya-tanya, mengapa Pak Prabowo meminta saya bertemu beliau. Usut punya usut, ternyata purnawirawan jenderal bintang tiga ini adalah sosok yang amat suka menggunakan sosial media, seperti facebook, twiter dan blog. Beliau mengakui jika ia kerap membaca tulisan-tulisan saya melalui blog, baik di Kompasiana maupun blog pribadi saya (Baca disini) Wajar jika saya merasakan kebanggan berlebihan.

Sebelum diajak bertemu dan berbicara dengan beliau, seribu pertanyaan ada di benak saya yang kemudian membentuk opini ‘miring’ terhadap pribadi beliau, yang kerap dipersepsikan keras. Termasuk berita-berita negatif yang mengitari karir militernya, seperti isu pencobaan kudeta pada Pak Harto yang juga mertuanya, pelanggar HAM, terkesan borjuis dan lain sebagainya. Tetapi semua berubah tatkala saya bertemu, tidak seperti yang saya bayangkan. Pak Prabowo saat itu menggunakan sarung dan kaos oblong putih langsung menyapa saya. “Ayo Hamzah, sarapan dulu”. Kalimat yang membuat saya merasa mengenal beliau sudah lama. Bahkan ketika menjabat tangan beliau, saya berupa merendahkan badan tanda takzim, tapi Pak Prabowo mengatakan, “Jangan berlebihan, kita semua sama. Yuk, sarapan dulu, ini masih pagi” katanya. Memang, menurut mantan ajudan beliau, Asaldin Gea, kebiasaan Pak Prabowo menerima tamu-tamunya, justru di ruang makan. Terkecuali dalam hal-hal formil baru di ruang tamu atau di ruang perpustakaan pribadi beliau.

Satu jam pertama pertemuan itu, Pak Prabowo banyak membahas tentang kondisi Indonesia saat ini, yang menurutnya Indonesia amat kaya, namun terlalu banyak kekayaan Indonesia itu terserap keluar negeri, dan hanya sebagian kecil yang ‘mandeg’ di dalam negeri. padahal, seharusnya kata Pak Prabowo, jika pemerintah mampu menekan ‘kebocoran’ itu, kesejahteraan rakyat Indonesia pasti bisa lebih baik. Cukup panjang pembicaraan beliau soal ini, mulai dari hitungan angka-angka yang membuat kepala saya pening, hingga menjelaskan tentang konsep ‘nasionalisasi’ perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Dalam kacamata ekonomi Pak Prabowo, ia tak terlalu menyukai istilah ‘nasionalisasi’, sebab bagaimanapun Indonesia bukanlah negara yang berdiri sendiri di muka bumi ini. Pak Prabowo lebih suka menyebutnya dengan istilah ‘Kepentingan Nasional’. “Demi ‘kepentingan nasional’ tentu kita akan memikirkan kondisi perusahaan asing di Indonesia, jika menguntungkan Indonesia, yuk bekerja sama, tetapi jika merugikan, tunggu dulu!, kasihan rakyat Indonesia” tegasnya.

Di jam pertama itu, saya lebih banyak menyimak didampingi sejumlah staf beliau. Saya lebih suka menulis tangan ketimbang menggunakan notebook untuk mencatat point-point penting argumentasi ekonomi beliau. Meski kerap Pak Prabowo meminta saya untuk memberinya ‘argumentasi’ pembanding. Saya pun bertanya sesekali saja, segan jika memotong langsung ‘kehangatan otak’ beliau dalam berpikir. Tetapi saya merasa seperti seorang jurnalis kawakan yang mendapat kesempatan wawancara eksklusif, seperti yang banyak dipertontonkan tv-tv nasional. “Andakan seorang magister, berikan pembanding dong” canda Pak Prabowo memecah keheningan.

Disela-sela mengurai argumentasinya, Pak Prabowo kerap mengingat binatang-binatang peliharaannya. Ternyata beliau seorang pencinta dan penyayang binatang. Yang paling digemarinya adalah kuda. Karenanya ia amat mencintai olahraga berkuda. “Kuda itu punya filosofi tinggi, sebab tak mudah menaklukkan bidatang liar seperti itu, jika kita tak memiliki rasa ‘saling memahami’ antara pemilik dan kuda itu” katanya.

Tak terasa, waktu terus bergulir. Memasuki jam kedua dan ketiga, saya dan beberapa orang staf beliau mulai ‘berani’ untuk bertanya seputar opini negatif yang berkembang di publik yang kerap mengitari perjalanan beliau, seperti isu kudeta dan pelanggaran HAM. Tetapi Pak Prabowo menjawabnya dengan tawa dan candaan yang hangat. “Itu fitnah, fitnah dan fitnah, kalau membahas itu-itu terus, habis energi kita, dan saya berharap bangsa ini tidak menghabiskan energi pada hal-hal yang tidak mencerdaskan rakyat Indonesia” katanya. Meski begitu Pak Prabowo mengurai dan memberi jawaban secara detail tentang opini itu, namun Pak Prabowo enggan untuk dipublikasikan. “Off the record sajalah, sebab saya masih menghormati komitmen saya, tak baik bicara tentang tudingan, sebab kita juga bisa menuding orang lain. Yang pasti di negeri ini masih banyak orang baik, masih banyak tokoh yang bisa diteladani, itu saja, dan saya mengajak Anda untuk bicara pada hal-hal positif. Suatu saat, jika tiba waktunya  saya akan menjelaskannya,” kata Pak Prabowo.

Lepas dari pembicaraan seputar hal di atas, saya lebih  suka mencermati hal-hal humanis yang dimiliki Pak Prabowo, seperti doyan makan buah mangga matang, apel, dan jenis-jenis sayuran. Termasuk mencermati jika Pak Prabowo ternyata seorang humoris. Banyak sekali joke-joke segar beliau yang membuat saya ikut melepaskan tawa besar. Melihat kondisi itu, saya ingat pesan seorang Kompasianer, Yusran Darmawan yang meminta saya untuk menulis ‘sisi sisi humanis’ Pak Prabowo. Ini benar, sebab bicara teori politik, seorang pakar bernama Erving Guffman, membagi dunia politik seseorang dalam dua hal, yang disebutnya ‘front stage’ (panggung depan) dan ‘back stage’ (panggung belakang). Dan yang paling banyak muncul dipermukaan adalah panggung depan politik seseorang.  Karenanya saya menyela beliau. “Pak seorang rekan saya yang tengah kuliah di Ohio, USA menitip pesan untuk menulis hal-hal humanis yang mengitari kehidupan Bapak. Sebab Bapak hanya selalu di opinikan sekedar sebagai jenderal, mantan danjen kopassus, isu pelanggaran HAM, keras, dan lain-lain sebagainya” pinta saya.

Jawaban Pak Prabowo diluar dugaan saya. “Hamzah, saya tak ingin jadi bintang film, yang semua kehidupannya diatur sutradara. Biarlah saya tampil dengan diri saya sendiri, seperti yang anda lihat saat ini, dan suatu saat nanti publik di Indonesia, juga akan tahu bagaimana kondisi saya yang sebenarnya. Saya bukan raja atau dewa, saya manusia biasa, sama dengan Anda.” Katanya.

Pak Prabowo menjelaskan, jika hal-hal seperti itu dibuat secara sengaja, publik juga tahu jika itu yang disebut ‘pencitraan’.  “yang dibutuhkan sekarang bukan itu, tetapi komitmen untuk membangun bangsa ini, dan mengupayakan kesejahteraan rakyat menjadi lebih baik,” jawabnya.  Karena waktu telah menunjukkan pukul 13 lewat, Pak Prabowo izin sejenak salat duhur. “silahkan nikmati makanan yang ada, saya ke kamar dulu” katanya. Sekretaris Pribadi beliau pun meminta saya beristirahat pada sebuah kamar yang memang kerap dipersiapkan untuk tamu-tamu beliau.

Saya menikmati suasana bersantai sejenak, tanpa pikiran-pikiran briliant Pak Prabowo yang menurut saya ‘belum sampai’ untuk mendalaminya. Saya sendiri membatin, “Saya masih perlu belajar keras untuk untuk ‘membanding’ pikiran beliau,  mungkin begini otak seorang calon presiden,” pikirku sedikit culun. Di kamar, saya banyak memandangi foto-foto kala beliau masih muda, memandangi cincin besar hadiah sebagai ‘perwira terbaik Akabri 1974’, dan rebah-rebahan sedikit. “kapan lagi tidur-tiduran dirumah seorang Capres” pikirku lagi.

Setelah merasakan itu semua, saya juga ‘jeprat-jepret’ dengan handpone seputar kediaman beliau yang sejuk dan asri. Maklumlah rumah yang didesain berarsitektur Jawa dengan sedikit ornamen Eropa ini begitu nyaman dan terasa tinggal di istana apalagi posisinya berada di puncak bukit. Soal ini, Pak Prabowo berkata jika rumah di bukit adalah cita-citanya sewaktu masih bertugas di Timor-Timur. Katanya, “Kalau pensiun nanti saya ingin punya kediaman di bukit ini,”. Yang dimaksud Pak Prabowo adalah di sebuah bukit di Kota Dili yang berhadapan langsung dengan lepas pantai, namun ternyata dugaannya meleset. Ia justru tinggal di bukit di kawasan Bogor. “yang penting di Bukitlah” kata Pak Prabowo.

Pukul 15.00 WIB, pak Prabowo melintas di depan kamar yang saya tempati beristirahat. Pak Prabowo kali ini tampil rapi dan sedikit trendi. Beliau menggunakan kemeja biru langit dan celana gelap. Lebih fresh, tampaknya.  Ia juga berjalan berduaan dengan seorang tamu pria bule, asal Amerika. Saya lupa namanya. Tetapi dalam percakapan beliau dengan menggunakan bahasa Inggris yang fasih, sepertinya si ‘Bule’ itu seorang penulis atau mungkin pekerja media. Sebab pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan berciri seorang jurnalis. Saya diam saja, dan mengikuti beliau memasuki ruang makan lagi. Lagi lagi untuk berdiskusi.

Ini jam keempat dan kelima bersama Pak Prabowo. Lagi-lagi ia bercanda dan membuat joke-joke segar. Soal yang ini Pak Prabowo mewanti-wanti. “jangan-jangan kita tertawa begini, orang lain menganggap saya mengangkat konsultan humoris lagi, repot memang jadi seorang Prabowo”. Asumsi Pak Prabowo ia ungkapkan setelah ia membaca headline sebuah koran nasional yang menyentil dengan judul ‘Pak Prabowo belajar Humor’. “Ada-ada saja, begini salah, begitu salah. Tetapi itulah dinamika di negeri kita dan saya sangat menghormati itu,” katanya.

Pak Prabowo pun banyak mengulas langkah-langkah politiknya. Termasuk visi-misinya membangun bangsa Indonesia jika kelak ia dipercaya rakyat Indonesia sebagai pemimpin di Republik ini. Tapi Pak Prabowo berkata singkat, “ jika rakyat Indonesia memilih saya, tentu saya akan mengabdi, sebab itu amanah. Jika tidak, tidak masalah pula, tugas kita jadilah warga negara yang baik, yang berdedikasi pada negara, dan selalu menjaga semangat kebersamaan, kita bisa besar karena bangsa ini adalah bangsa yang kaya.

Tak terasa waktu telah menujukkan pukul 16.00 WIB, saya pun harus pamit kembali ke kos-kosan saya di Jakarta. Pak Prabowo pun berpesan, “Anda harus selalu berpikir positif, untuk bangsa ini, terhadap sejarah, hari ini dan masa depan bangsa ini,”. Saya pun menjawabnya singkat. “terima kasih wejangannya Pak”.

Ada rasa kebanggan menyelimuti perjalanan saya kembali ke Jakarta. Entah kapan lagi bisa bertemu dengan tokoh-tokoh sekelas beliau. Sesampai di kawasan Kuningan   Jaksel, tiba-tiba sebuah mobil menderu  dari arah belakang. Saya menandainya jika itu mobil pribadi beliau. “Begitu sibuk seorang tokoh, baru beberapa jam berbicara, bercanda, kini ia berada lagi dalam pusaran ibukota. Entah untuk apa” pikirku. (**)
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments