» » Seks Jakarta : Asli atau Palsu, Hotel atau Trotoar. Mau?

Seks Jakarta : Asli atau Palsu, Hotel atau Trotoar. Mau?

Penulis By on 23 May 2013 | No comments

Tidak di metropolitan tidak di daerah, relatif sama. Pokoknya menyangkut ‘daging lokal’ tampaknya menjadi impian bagi banyak pemburu seks, dan fenomenanya hal-hal seperti ini sepertinya bukan sesuatu yang tabu lagi. Bahkan Jakarta kini jauh lebih berani dalam mengeksplorasi bisnis ini. Karenanya tidak mengherankan jika pelakunya juga datang dari berbagai merek, dari yang kaya hingga miskin, dari yang bengal hingga alim, dari orangtua ke anak-anak.  Mungkin ini penyebabnya mengapa para praktisi hukum mulai menggelontorkan isu penanganan gratifikasi seks yang banyak melibatkan kalangan borju negeri ini.

Selama berdomisili di ibukota ini tentu banyak serapan informasi yang datang tentang kawasan-kawasan seks ibukota, mulai yang pernah paling terkenal Kramat Tunggak, kemudian kawasan Mangga Besar, hingga di trotoar-trotoar ibukota cukup banyak berjejer tanpa malu menawarkan diri. Jika dulu masih ada istilah mucikari, sekarang cukup tanya tukang ojek, Anda dengan mudah mendapatkannya. Atau jika malu bertanya, berdiamlah di trotoar-trotoar remang, maka tak lama Anda akan didatangi sendiri. Gila!

Ada satu hal menarik dalam fenomena seks Jakarta, yakni semakin menjamurnya para penjaja seks ‘vagina palsu’. Ya, waria maksud saya. Dulu saya hanya mendengar jika mereka banyak kongkow di kawasan Taman Lawang Menteng, Jakarta Pusat. Sekarang pun begitu. Bahkan mereka kini lebih berani antri di beberapa kawasan sekitarnya, seperti jalan Latuharhari, dengan waktu operasi antara pukul  02.00 hingga  pukul 04-00 dinihari. Rasanya-rasanya, suasana transaksi malam jelang pagi itu tak ubahnya, transakasi di pasar-pasar rakyat di siang hari. Ramai dan tanpa malu-malu. Ini pengalaman ‘memantau’ ketika masih aktif berorganisasi di ‘Gardu Prabowo’ yang sekretariatnya hanya beberapa puluh meter dari Latuharhari.

Para waria ini memang ‘jagoan loby’. Jika Anda kerap terlihat melintas di Latuharhari, maka mereka tak sungkan-sungkan menyapa Anda untuk mampir sejenak. Mereka tak langsung menawarkan diri, tetapi biasanya meminta sebatang rokok. Tetapi hati-hati, jika Anda menggunakan mobil atau motor sendiri, tak sungkan mereka langsung naik ke mobil atau motor Anda, dan berbisik lirih. “Ayo Bang, kita kemana?” bisiknya. Perangkap para waria ini sepertinya menjadi jurus ampuh bagi para penikmat syahwat. Maklumlah pesona mereka tak kalah dengan wanita asli umumnya. Bahkan beberapa diantara mereka ‘jauh’ lebih cantik. Kata beberapa kawan wanita, mereka itu langganan salon, rajin merawat diri, bahkan rata-rata diantara mereka telah operasi kelamin. Mmmakk!

Selain cantik, penampilan para waria ibukota ini juga amat seksi. (maaf) jika waktu operasi di mulai, penampilan mereka sangat seronok. Hanya menggunakan pakaian tipis, hingga buah dada palsunya pun ikut menyembul. Entah pakai silikon atau ‘main tempel’ saya kurang paham. Bahkan kerap terlihat menggunakan CD tipis dan sengaja mempertontonkan bagian-bagian yang merangsang birahi. Hebat benar Waria ini. Yang pasti ini menjadi jawaban pertanyaan saya, mengapa ada saja lelaki tertarik dengan mereka ini? bahkan tak jarang yang ‘mampir’ adalah para pengguna kendaraan roda empat dengan merk mewah buatan Eropa, bahkan terlihat diantaranya adalah lelaki Bule. Lagi-lagi saya bertanya pada diri sendiri, apakah Bule ini tahu jika sebenarnya yang akan dinikmatinya itu sesuatu yang palsu? Entahlah. Tapi soal ini sesuatu yang lazim di Jakarta, bahkan sempat menyaksikan beberapa kali para ‘gay’ dengan mesranya bercumbu di sebuah restroran mewah di kawasan Sarinah-Thamrin, Jakarta.

Masih soal ‘waria’. Meski penampilannya wah, tetapi jangan sangka jika selera ‘mainnya’ juga harus di hotel-hotel mewah. Ternyata, kawasan rel kereta api termasuk dibilangan Latuharhari, adalah tempat ‘asyik-masyuk’ mereka. Tak jarang jika melintas disini, terganggu dengan ‘tawa kecil’ yang mengandung birahi. Maklumlah, Latuharhari berbatas langsung dengan rel kereta dan bantaran kali ‘banjir kanal timur’ yang diantarai taman-taman kecil. Sebuah peluang besar untuk ‘bermain gratis’ karena suasananya sangat redup dan hanya sedikit pantulan cahaya lampu jalan. Uniknya, cukup banyak penjaja kopi dan mie instan berjejr di sana. Tetapi sepertinya mereka hanyalah ‘patung-patung yang bernyawa’. Cuek dengan keadaan dan menganggap ‘peristiwa’ itu sesuatu yang amat biasa terjadi. Mungkin karena setiap malam mereka menyaksikan pemandangan mesum itu. Tapi jangan-jangan coba menggoda waria jika Anda berjalan dengan seorang wanita. Mereka pasti menampakkan wajah marah dan mengeluarkan suara melenguh. Huh!.

Itu soal yang palsu. Lalu bagaimana dengan yang ‘asli’? Suatu malam, saya pernah mengajak istri ‘putar-putar’ Jakarta dengan menggunakan vespa butut menuju kawasan Kota Tua, Jakarta Barat. Sepulang dari sana, istri saya keheranan menyaksikan banyak wanita-wanita cantik malam-malam bersenda gurau dengan para tukang ojek. Saya jawab, mereka itu mencari hidup dengan menjadi pekerja seks, dan pengojek itulah yang nyambi sebagai induk semang, mencari ‘pembeli’ hingga antar jemput ke rumah masing-masing. Sepertinya simbiosis mutualisme terjadi disini.

Melihat penampilannya,  istri tak percaya jika mereka itu penjaja seks. Sebab raut kelembutan dan keayuan wanita itu lebih cocok sebagai pekerja kantoran, atau wanita karir lainnya. Ketidakpercayaan itu sirna, tatkala ‘pembeli’ datang dan membawa mereka ke hotel terdekat dimana mereka biasa mangkal. “Kasihan benar” kata istri saya.

Cerita lain di kawasan Tanah Abang Jakarta, para penjaja seks pun berjejer tanpa malu, tapi yang ini merek dan pasarnya sudah lain, sebab raut wajah mereka tak mampu berdusta. Mereka rata-rata berusia diatas 40 tahun. Cara merayunya pun lebih dewasa. Kata beberapa pedagang kali lima di sana, ‘pasar’ mereka adalah lelaki-lelaki berumur yang tak punya uang banyak. Mainnya pun bukan di hotel tetapi dipinggir jalan gelap, cukup tertutup dengan gardus dan beralas kain atau koran sekenanya. Waduh!!

Satu hal yang belum saya pahami dari diorama seks Jakara ini adalah tarif mereka. Sebab saya belum pernah mencoba menawar. Saya tak tahu Anda. Mau?

Jakarta, 23 Mei 2013Baca juga tulisan berikut ini :
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments