» » Sekelabat Rasa di Menara Sahid

Sekelabat Rasa di Menara Sahid

Penulis By on 06 October 2013 | No comments

“Mas, kok mau kuliah di sini, kenapa gak memilih universitas negeri lainnya di Jakarta ini, bukankah fasilitas doctoral komunikasi itu jauh lebih baik di sana?” saya bertanya pada Seno Harsono, pria muda Solo alumni magister London School Jakarta. Tetapi ia tak langsung menjawab, justru balik bertanya. “Abang sendiri milih S3 di Sahid kenapa?”

Saya menjawab singkat. “Tak lulus di UI, karenanya alternative terbaiknya di Komunikasi Sahid ini, sebab saya tak bisa meninggalkan Jakarta dengan alasan macam-macam”. Seno, lagi-lagi tak memberi jawaban, ia memilih memberi motivasi, jika pilihan saya tepat tentu dengan alasan yang beragam pula. “Justru saya menjadikan Sahid sebagai pilihan utama saya, soal merk itu hanya persepsi Bang,” kata Seno.

Ungkapan lelaki kelahiran tahun 86 ini mengingatkan saya pada seorang rekan blogger Yusran Darmawan, alumni Ohio University, USA yang tak pernah pudar dalam menyalakan api pencarian keilmuannya. Ia kerap mengingatkan agar saya tak terjebak dalam merk-merk pendidikan tertentu. “dimanapun, jika kita bisa menjadi yang terbaik, itu malah jauh lebih baik,” kata Yusran.

Bagi sagi saya Seno dan Yusran adalah dua lelaki muda yang jangkauan pikirannya jauh melampaui zamannya. Tentu saya bangga memiliki rekan-rekan seperti mereka. Apalagi bertemu dalam sebuah ruang yang bernama ‘mahasiswa doktoral’, sebuah jenjang di mana beberapa tahun silam lalu saya selalu menerawang kata ‘doktor’ itu seperti buaian mimpi di siang bolong. Tetapi seperti menepuk pipi sendiri, saya sadar jika ini bukan lagi mimpi, tetapi tantangan yang harus dilewati, apalagi saya paham benar kekurangan mendasar pengetahuan saya, yakni kemampuan berbahasa Inggris saya yang terbilang buruk.

Kerap jika membayang hal ini, selalu ada sipuan senyum pada sebuah ingatan di masa silam, saat duduk di bangku SMP. “Gimana  mau pintar bahasa Inggris, baru mau masuk kelas, gurunya udah di depan pintu pegang sapu…hahaha”. Tapi saya tak menyalahkannya, mungkin ini metode guru agar murid-muridnya tunduk dan disiplin dengan mata pelajaran ini, meski baru tersadar jika metode seperti ini berpengaruh pada psikologi murid dalam menerima pelajaran.

Saya membuang jauh-jauh ‘beban’ itu. Di benak hanya satu kalimat “saya tak pernah takut pada tendangan seribu kali tetapi latihan hanya sekali. Saya justru takut pada tendangan sekali dari seorang yang berlatih seribu kali”. Ini filosofi ‘kekerasan’ yang saya serap dari seorang legenda bela diri, Bruce Lee.

Sekali lagi, apapun itu saya mengatakan ini tantangan, dan (boleh dong) sedikit pongah, jika hari ini benar-benar saya telah terlabeling dengan sebuah predikat baru ‘calon doktor’ yang tentu tidak semua orang diberi kesempatan mengarungi bahtera dari biduk pendidikan ini. Apalagi jika mengingat-ingat jika dari segi materi sungguh sebuah kenaifan saya bisa menikmatinya. Maklum, saya tidak terlahir dari orang tua yang mapan secara materi. Tuhan justru memberi satu kemampuan yang tidak semua orang memilikinya, yakni; semangat, kemampuan bersiasat dan egois pada anak-istri yang harus saya tinggalkan di daerah.

Subhanallah. Tuhan benar-benar tahu apa yang diinginkan hambanya, sebuah perguruan tinggi di Jakarta yakni UTA 45-Jakarta menerima saya sebagai dosen untuk beberapa mata kuliah yang siap-siap saya ajarkan di semester awal tahun 2014 mendatang. Ini berarti sebentar lagi saya menyandang dua merk dalam satu waktu sekaligus, yakni sebagai mahasiswa dan dosen.

Sebagai dosen? Lagi-lagi juga ini seperti mimpi di siang bolong, sebab belasan tahun silam, saya hanya tercatat sebagai guru sukarelawan di sebuah SMP yang letaknya di kawasan transmigrasi di Sulawesi Tenggara sana. Namanya juga sukarelawan, jangan pernah bertanya tentang honor. Tanyalah pada saya, berapa lama saya harus berjalan kaki ke SMP itu? Tanyalah pada saya bagaimana senyum mungil anak-anak sekolahan yang menyambut riang setelah ia mengayuh sepeda belasan kilometer dari rumahnya? Dan tanyalah pada saya bagaimana keikhlasan guru-guru di sana yang selalu melebarkan tawanya ketika ia bisa bertepuk tangan setelah anak-anak itu juara di sebuah event di perkotaan? Dan tanyalah pada saya tentang kedamaian anak-anak desa yang selalu bangga dengan ketulusan dan kedamaian hatinya.

Saya berharap, ingatan-ingatan itu kini hadir di Menara Sahid, tempat saya menimba ilmu sebagai seorang kandidat doctor. Memang, tempat, ketulusan dan kepolosan dan canda bahagia yang saya peroleh di pelosok desa di Sulawesi sana berbeda jauh dengan bentangan alam yang saya hadapi di belantara ibukota ini. Tetapi saya selalu punya keyakinan jika kawan-kawan saya di sekolah pascasarja Sahid Jakarta ini, juga adalah sekumpulan orang yang punya nyali dan hati yang sama lembutnya dengan mereka yang selalu damai di desa sana, meski lapis sosial mereka tentu amat jauh jika dibuat sebagai pembanding.

Karenanya saya ingin menulis nama kawan ‘seperjuangan’ saya di sini; ada Ibu Nur Ida, seorang dosen di UPI Jakarta, Ibu Sardewi seorang praktisi hospitaly ibukota, Ibu nanik Afril, dosen di Untirta Serang, mas Seno Hartono (Staf Kemendibud RI), Pak Ardojo (pebisnis di bidang penerbangan), Daniel Kosasih (enterprneurship), Wa Ode Ruby Rachmi Rasyid Manarfa (ini yang paling muda, kelahiran tahun 90, cucu seorang Sultan di Buton sana), Ibu Halimatussadiyah (pengelolah pendidikan), Pak Aminuddin (juga seorang dosen), Micco Kasah (aktivis media).

Tentu kami punya tekada sama. Sukses meraih mimpi!
---------------

Jakarta, di akhir pekan 7 Oktober 2013

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments