» » Prabowo, Ajudan dan Setetes Airmata di Mapenduma

Prabowo, Ajudan dan Setetes Airmata di Mapenduma

Penulis By on 23 June 2014 |

Banyak cerita tentang Operasi Mapenduma Papua di tahun 1996 yang mengisahkan secercah kisah heroik dari Kopassus yang diterjunkan di belantara bumi cendrawasih itu. Dan, tentu kita tak bisa melupakan  peran seorang Jenderal Prabowo Subianto dalam operasi ini yang saat itu diposisikan oleh negara sebagai pengendali operasi, sosok yang kini menjadi Calon Presiden di republik ini.

Bagi pembaca (mungkin) tulisan ini dianggap sebagai salah satu bentuk menaikkan citra Pak Prabowo di pusaran politik tahun ini, tetapi bagi penulis, hal-hal seperti ini juga perlu  diketahui publik, bahwa Pak Prabowo bukanlah sosok tokoh tanpa peran besar dalam menjaga keutuhan negara. Bahkan boleh jadi, derita, duka  dan perjalanan di berbagai operasi menjaga keutuhan negara inilah yang membentuk semangat nasionalisme begitu kokoh dalam jiwa seorang Prabowo Subianto.

Tetapi bukan ‘adegan-adegan’ heroisme pembebasan sandera seperti yang banyak diketahui publik yang dituturkan dalam tulisan ini, melainkan nestapa seorang Prabowo yang menggambarkan kepeduliannya pada nilai satu ‘nyawa’ bagi pasukannya, nilai satu ‘nyawa’ bagi para sandera dan bahkan nilai satu ‘nyawa’ bagi para mereka yang bergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pak Prabowo selalu menghitungnya, dan menghargainya. “Apapun yang kita lakukan di sini, jangan sampai ada nyawa yang melayang, dari manapun mereka,” tegas Pak Prabowo pada pasukannya saat itu.

Inilah sepenggal ingatan Asaldin Gea, ajudan militer Pak Prabowo kala itu yang diceritakannya pada penulis malam ini (6/6). Tetapi  cerita begitu membekas, karena menurut Bang Gea (panggilan akrab Asaldin Gea), tuturan ingatannya itu tidak sekedar bercerita tentang suasana perang, tetapi juga airmata kelembutan seorang Prabowo Subianto. “Saya  mengingat-ingat kisah itu, dan menyebut ini dengan sebutan ‘di balik perang ada kelembutan hati seorang jenderal’, sebab saya menyaksikan sendiri peristiwa itu,” tutur Bang Gea.

“Kisahnya begini, sejam sebelum kami melakukan operasi pembebasan sandera, kami berkumpul di camp dan tampak Pak Prabowo terlihat menatap sesuatu dengan tatapan kosong tetapi memiliki makna yang dalam. Sebagai ajudan beliau, saya merasakan getar tatapan Pak Prabowo itu. Saya meberanikan diri mendekati beliau, sebab boleh jadi Pak Prabowo ingin bercerita tentang sesuatu, sebelum operasi itu di mulai. Namun alasan saya mendekat, sekedar melaporkan jika segala perlengkapan Pak Prabowo telah dipersiapkannya, sekaligus menunggu petunjuk selanjutnya” jelas Bang Gea.

Pak Prabowo tersentak, dan menatap dalam-dalam ajudannya itu. Tak lama Pak Prabowo bertanya diluar dugaan Bang Gea.
“Gea, apakah Kamu ingat keluargamu?” Tanya Pak Prabowo.
“Siap!” Jawab Gea
“Gea, sebelum kamu tugas di sini, sudah minta izin dan doa restu ibu bapakmu?” tanya Pak Prabowo lagi.
“Siap, Sudah!” jawab Gea.
“Jika begitu, ajak semua perwira-perwira bergabung bersama, ada yang ingin saya diskusikan,” kata Pak Prabowo.

Saat perwira-perwira berkumpul, di sana juga ada Pak Iwan Abudulrahman yang dikenal dengan nama Wanandi, tokoh yang yang dikenal pula sebagai komponis lagu ‘Melati dari Jayagiri’. Juga ada Bapak Tedi Kardin, tokoh yang selama ini dikenal sebagai ‘ahli pisau dari Bandung’ (hingga sekarang, dikenal dengan T.Kardin Pisau Indonesia).

Pak Iwan dan Pak Tedi adalah sahabat-sahabat Pak Prabowo yang saat itu dilibatkan untuk membantu Pak Prabowo tentang gerakan peta dan alam. Pak Iwan sendiri yang saat ini telah berusia 67 tahun, adalah tokoh dari Sumedang yang dikenal sebagai pentolan utama kelompok pencinta alam ‘Wanadri’, mungkin karena itu Pak Prabowo melibatkan lelaki yang kini akrab disapa ‘Abah Iwan’ itu. Demikian juga dengan Pak Teddy, sama-sama pentolan Wanadri

“Saat Pak Prabowo berkumpul dengan semua perwira-perwira itu, termasuk Abah Iwan dan Pak Tedi, Pak Prabowo ternyata tidak banyak berbicara tentang strategi operasi, mungkin sudah dibahas sebelumnya, tetapi Pak Prabowo mengajak kami bercanda sembari bernyanyi sekedar menghilangkan ketegangan pasukannya,” kata Bang Gea.

“Entah kenapa lagu pilihannya adalah ‘Sio Mama’, sebuah lagu daerah Maluku yang lirik-liriknya berbicara tentang kerinduan pada keluarga. Pak Iwan yang memang dikenal sebagai musisi, tampil memainkan gitarnya. berulang-ulang lagu itu dinyanyikan beramai-ramai, sembari menikmati kacang rebus, hingga benar-benar suasananya menjadi hening,” jelas Bang Gea.

“Saya menatap wajah pak Prabowo, beliau bersedih dan menitikkan air matanya, kami pun ikut menitikkan air mata, larut dalam suasana itu.” jelasnya. Tiba-tiba Pak Prabowo memecahkan suasana itu.

“Kita ini adalah ciptaan Tuhan. Kita semua sama”
“Semua punya keluarga dan sanak famili”
“Kita punya ibu yang telah melahirkan kita”
“Kelompok penyandera ini juga punya ibu dan keluarga”
“Karena itu, dalam melaksanakan operasi pembebasan sandera, upayakan jangan ada korban, usahakan di tangkap saja”
“Jika ada perempuan dan anak-anak di sekitar daerah itu, amankan dan kita bina kembali ke masyarakat, karena mereka adalah saudara-saudara kita,” begitu jelas perintah Pak Prabowo kala itu.

Bagi Bang Gea, cerita ini terus membekas di ingatannya, ingatan tentang kecintaan Pak Prabowo kepada segenap anak bangsa darimanapun ia berasal, tak ada pembeda satu dengan yang lainnya. Padahal operasi Mapenduma adalah operasi militer, tentu sangat rentan dengan situasi peperangan. “Tetapi Pak Prabowo tetap mengedepankan sisi dan nilai kemanusiaan, bahwa nyawa setiap manusia adalah sesuatu yang teramat berharga,” kata Bang Gea menutup pembicaraannya dengan penulis.

**

Dari berbagai sumber resmi dijelaskan bahwa Operasi Mapenduma adalah operasi militer untuk membebaskan peneliti dari Ekspedisi Lorentz yang disandera Organisasi Papua Merdeka (OPM). Operasi ini sebagian besar anggotanya berasal dari Kopassus. Operasi ini dipimpin oleh Komandan Kopassus Prabowo Subianto.

Dalam Operasi pembebasan ini, 2 dari 11 sandera di temukan tewas, selama empat bulan lebih seminggu (129 hari) 11 sandera tersebut disandera di tangan yang menamakan diri Organisasi Papua Merdeka (OPM) mereka terus berpindah-pindah dan masuk ketengah hutan belantara.

Terjadi negosiasi untuk mencari jalan damai yang dilakukan oleh Palang Merah International (ICRC) dengan OPM kandas di tengah jalan karena pimpinan OPM Kelly Kwalik membatalkan perjanjian itu secara sepihak.

Setelah kegagalan negosiasi itu barulah operasi Mapenduma yang di pimpin Prabowo Subianto bergerak, Operasi pembebasan sandera kemudian dinyatakan selesai, diteruskan pemburuan OPM, dipimpin langsung oleh pangdam Trikora Mayjen Dunidja kala itu.

**
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments