» » Aku, Sunyi dan Kebebasan

Aku, Sunyi dan Kebebasan

Penulis By on 15 September 2014 | No comments

Tiga belas tahun mengarungi bahtera rumah tangga dengan didampingi seorang istri yang patuh dan karunia tiga orang anak yang selalu ceria, adalah karunia Tuhan yang tiada terhingga. Sungguh nikmat, saya tak menyangkalnya.
Sayangnya aku masih lemah, tak kuat untuk status sebagai seorang Ayah yang dibanggakan. Entah mengapa? Tetapi ini mungkin cerita hati di tengah ‘perpisahan’ jarak, ruang dan waktu dengan istri dan anak-anakku. Paling tidak, inilah ceritaku di pekan kedua September 2014 ini, saat menikmati masa-masa ‘suram’ hidup di ibukota, sementara istri dan anak-anakku berada jauh di Pulau Buton, Sulawesi sana.

Suram, karena sepi. Suram karena pendidikan dengan gelar tertinggi yang akan kurebut bukanlah jaminan merasakan kebahagian itu. Aku benar-benar merasa terpuruk dan seolah ada rasa yang hilang di tengah kebebasanku di ibukota ini. Tapi rasa ini kupastikan juga dialami istri dan anak-anakku. Jika menyadari itu, terbesit rasa dosa yang seolah mendera batin, jika saya telah menyiksa batin orang-orang yang kucintai dan mencintaiku.

Tapi apa boleh buat aku harus menceritakannya melalui tulisan-tulisan yang belum tentu bermakna bagi banyak orang. Tetapi ini satu cara mengobati rasaku yang ‘suram’ itu, yang sepi itu, tanpa ada orang lain yang bisa merasakannya. Mungkin ini makna lain dari ‘menulis’ bahwa sebenarnya menulis itu adalah meditasi.

Aku bebas? Benar. Tetapi hatiku terpenjara. Bebas karena aku bisa apa saja di dalam kesendiriannku. Sayangnya hatiku berkata, “dirimu belum bisa membedakan siapa ‘aku’, siapa ayah dan apa makna kebebasan itu?”

Aku hanya ingin berkata jujur, bahwa aku tak bisa sendiri. Butuh seseorang yang mengerti relung rasa dan perasaanku. Tetapi aku tak ingin tersakiti, aku ingin tersenyum, bercanda dan penuh keriangan. Bukan haru biru yang selalu menyeringai dan menebarkan aura-aura negatif. Siapa orang itu? Saya tak tahu menjawabnya!

Aku tentu hanya ingin menjadi aku, menjadi ayah yang baik, dan ada yang bisa membatasi kebebasanku, sebab kini aku liar dalam benakku sendiri. Datanglah, sebelum aku benar-benar melupakanmu. Aku kejam kan? Mungkin itu ego-ku. Tetapi Tuhan tahu, siapa dan apa kebutuhanku. Maka jawablah!

-------------------------
Hatiku di seperdua malam Cikini.
Senin, 15 September 2015


Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments