» » Jatuh Cinta Pada China

Jatuh Cinta Pada China

Penulis By on 29 November 2014 |

SELEMBAR spanduk usang dengan tulisan sekenanya terpajang pas di depan kawasan Taman Ismail Marzuki  (TIM) - Cikini.  Isinya menggugat  TNI untuk menyelematkan negara dari kekuatan ideologi ‘asing dan aseng’  yang sudah menguasai negeri ini. Saya tak paham maksud satu kata pada tulisan itu. Aseng. Siapa dia? Sebab di kamus besar bahasa Indonesia pun sulit menemukannya. Apa makna kata itu. Saya membatin pada  pikiran sendiri. Ini mungkin kata yang menandakan ‘kelompok etnis tertentu’. China, maksud saya!.
    
Terus ada apa jika aseng itu benar dipersepsikan sebagai China, apa masalahnya dengan etnis ini? Bukankah ia sama dengan etnis lainnya di Indonesia yang memiliki kedudukan sama sebagai warga negara di republik ini? Bukankah Ahok adalah China yang sukses menjadi Gubernur di DKI Jakarta? Bukankah perekonomian di negeri ini juga banyak digerakkan oleh kawan-kawan bersuku China?
      
Saya juga punya kawan bernama Bang Ahua dan Pak Ishak Holidi, menurutku ia seorang nasionalis. Bahkan mengurai tentang elit-elit bangsa ini, cukup banyak yang melibatkan diri untuk urusan-urusan bangsa. Sebutlah Pak Kwik Kian Gie, semua orang mengenal tokoh ini sebagai sosok yang lantang dalam memperjuangkan kesejahteraan bangsa Indonesia dalam tataran ekonomi.
      
 Bahkan saya sendiri memiliki banyak mahasiswa dari etnik ini, tanpa saya mengerti apa pembedanya dengan suku-suku lainnya. Terkecuali tanda lahir dengan mata sipit dan kulit kuning cenderung putih. Hampir mirip dengan mata saya, sayang kulit lebih coklat dan cenderung gelap. Intinya saya banyak mengenal sosok-sosok etnis China-Indonesia, sebagai sosok ramah, nasionalis dan selalu berbicara tentang kemajuan. Bagus kan?
       
Heheheh..saya terkekeh ringan dengan etnik ini, membayang sosok wanita cantiknya. Maaf, saya mudah jatuh cinta pada wanita golongan ini, termasuk yang punya darah campuran China. “Manis deh..” pikirku agak kecentilan. Bahkan di Jakarta, untuk urusan rekreatif, tempat terfavorit yang paling kugemari adalah anjungan Tionghoa (sebutan untuk etnis China) di kawasan Taman Mini Indonesia Indah.  Tempatnya asyik, natural, bahkan sangat romantis untuk mengungkap kalimat cinta untuk orang-orang tersayang. Coba deh!. Saya sendiri belum mencobanya, sebab di Jakarta keseringan menjomblo, karena tanpa istri. Saya melabeli diri saya di kota ini sebagai kaum pengidap ‘tuna asmara’. Hehehe….
       
Lepas dari perasaan jatuh cinta itu? Kerap muncul pertanyaan di benak, apakah ada data statistik tentang jumlah penduduk Jakarta dari suku China? Bagaimana perbandingannya dengan suku Betawi dan suku-suku lainnya? Mungkin agak sulit menjawabnya. Seingat saya, dulu KTP memiliki kolom suku/bangsa. Tetapi sekarang telah dihilangkan (entah oleh siapa). Moga-moga saja ‘kolom agama’ tak raib, agar tetap dapat diketahui secara statistik jumlah pemeluk agama di negeri ini. Sebab Indonesia bukanlah kelompok negara libertarian, ia negara Pancasilais yang memposisikan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ di sila teratas. Mungkin begitu!
    
Tetapi, secara kualitatif (mungkin) terprediksi jika etnis China sebagai salah satu suku terbesar di Kota Jakarta. Setidaknya ketika ke mall-mall dan pertokoan-pertokoan dan kawasan-kawasan perekonomian modern hingga tradisonal, tentu banyak bertemu dari yang berstatus pembeli hingga penjual.
       
Di kampus-kampus elit di Jakarta pun begitu; tak hanya mahasiswanya, tetapi justru menjadi pemilik atau petinggi kampus. Ketika melintas di sarana peribadatan, dari masjid, geraja, wihara, semuanya telah lazim, sama seperti bilangan suku-suku lainnya di Indonesia. Bahkan ketika saya mencari mana suku Bugis-Makassar, Buton, Ternate atau suku-suku timur lainnya, baru bisa menemukannya manakala ke komunitas masing-masing.   
       
Yang pasti  suku China bukan lagi barang langka di negeri ini. Tak sulit lagi mencarinya di pemerintahan, tak sulit lagi menemukannya di dunia politik, tak sulit lagi menemuinya di dunia pendidikan, tak sulit lagi menemuinya di rumah-rumah sakit, apalagi di kawasan-kawasan perekonomian, bahkan di metromini sekalipun, kini begitu mudah menemukannya.
      
Saya ingin belajar, bagaimana caranya bisa menebar kemana-mana!  **
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments