» » Kebohongan Sosial “Uang Panai”

Kebohongan Sosial “Uang Panai”

Penulis By on 10 September 2016 | No comments

MAU didebat silahkan, sebab realitas sosial bicara seperti itu. Teramat banyak pria kesulitan melamar wanita Bugis-Makassar karena tercekik sebuah syarat sosial yang bernama ‘uang panai’, seserahan sejumlah uang kepada pihak calon mempelai wanita. Soal ini, sejumlah media nasional pernah mengulasnya dengan menyebut jika ‘harga’ perempuan Bugis-Makassar termahal di Indonesia. Duh!

Uang ini bergeser menjadi semiotika status sosial yang kadang dipersepsi menjadi simbol harga diri keluarga. Karenanya tak sedikit pihak melakukan kebohongan kepada publiknya dengan menyebut angka puluhan hingga ratusan juta, sekadar memperoleh decak kagum. Padahal nyatanya tidak semua seperti itu. Lalu apa pentingnya mendusta hanya untuk sebuah status?

Melamar perempuan Bugis-Makassar, seolah mempersiapkan diri mengangkangi nilai keagamaan dengan berkedok adat. Tak heran, jika di daerah ini kerap terjadi ‘silariang’ (kawin lari) karena khawatir tertolak sebagai efek besarnya nilai ‘uang panai’ itu.

Di Sulsel, agama dan adat sebagai sesuatu yang tak terpisah. Harusnya saling melengkapi, saling mengisi ruang kosong yang menjadi kekurangan. Pernikahan tak seharusnya ternodai watak pragmatisme yang membunuh masa depan. Sebab adat adalah bentuk ‘local genuine’ (kecemerlangan lokal) yang seharusnya bijak mengarahkan masa depan anak manusia yang hendak melangsungkan pernikahan, apalagi disepuh agama sebagai aturan ukhrawi yang meluruskan penghambaan manusia pada Tuhannya. Bukan menikah adalah ibadah?

Jika konsepsi ini ‘uang panai’ ini selalu dan cenderung menjadi ‘harga’ sebuah kehormatan, maka tunggulah dekadensi moralitas menggerus anak negeri, sebab kobohongan pun ikut melazim di dalamnya. Apa sulitnya jujur, memberi harga sebuah kehormatan, sebab manusia tak berkurang nilai hanya karena ukuran duit. Sebaliknya kemuliaan akan hadir jika bijak memaknai ‘uang panai’.

Idealnya, ‘uang panai’ menjelma sebagai simbol pemusyawarahan antar anak etnis Bugis-Makassar, simbol mengukur kekompakan. Sebab manusia bahagia tak selalu dengan ukuran fisik uang. Mari memprotes.
------------------------------
Cerita di balik kamar pengantin
Pangkep, 25 Juli 2016
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments