» » ‘Setelan Jawa’ Ala Dr. Sugeng

‘Setelan Jawa’ Ala Dr. Sugeng

Penulis By on 06 September 2016 |

ORANG ini hebat, kendati agak sulit menemukan jawaban, mengapa saya menyebutnya sebagai seorang  yang hebat.  Ini (mungkin) yang disebut subjektivitas, karena kecenderungan common sense begitu mengemuka. Namun satu hal yang  selalu hadir pada keperibadian pria bernama lengkap Dr. Sugeng Wahyudi ini, adalah perangainya yang teramat berbeda dengan pria terpelajar pada umumnya, apalagi membanding pada keperibadian penulis.

Mas Sugeng amat low profile, santun, dan konsisten menjaga bait-bait lisannya. Sementara saya terkesan high profile, cenderung menonjolkan diri sehingga mengesankan keangkuhan. Saya merasa perlu banyak belajar dari sosok akademisi ini, pengalamannya dan kemampuannnya meredam keresahan-keresahan dalam kehidupannya. Mungkin pula tabiat etnis membuat kami begitu berbeda. Mas Sugeng Jawa tulen, saya Sulawesi tulen, dua ras yang begitu berbeda karakter.

Itu sekelumit makna yang saya tangkap ketika mencandainya di kawasan Sunter Jakarta Utara. Sebuah lokasi yang sengaja ia pilih, agar dekat dengan tanggung jawabnya sebagai seorang struktural akademisi di sebuah kampus swasta ternama di sana. Tuturan pergulatan hidupnya pun membuat saya amat terperangah – bahwa langkahnya ke Jakarta juga relasi kohesivitas, jika daerah tidak begitu menjanjikan, penuh intrik, dan telikung kehidupan. Dibanding metropolitan yang  justru cuek dengan segala aktivitas penumpangnya.

Mas Sugeng, pria yang lebih memilih hidup sendiri di Jakarta, ia merelakan istrinya di kampung halamannya, dan anak-anak yang menebar dari Surabaya hingga Madura. Kerap terlintas di pikiran, mengapa doktor komunikasi ini rela ‘sendirian’ dan membiarkan mata hatinya menebar? Berdosakah ia? Sulit menjawabnya, sebab hidupnya setali tiga uang denganku. Menerornya dengan pertanyaan itu, sama juga menjebak diri sendiri dalam kubangan.

Hal yang pasti, saya amat tertarik untuk selalu berdiskusi dengan pria Madiun ini. Rasanya masih perlu belajar, agar dahaga pengalaman bisa terpenuhi. Agar bisa mengubah karakter high menjadi low, meski saya tak perlu hidup dalam ‘setelah Jawa’ ala Mas Sugeng. Sebab tak mungkin saya menyebut ‘nyung sewu’ di saat saya masih bisa berkata ‘tabik’.

Mengenalnya memang belum lama, sekitar tiga bulanan saat kami berdua fokus menyelesaikan pendidikan. Tetapi ketika keakraban terjadi, saya merasa benar-benar mendapat guru kehidupan, sahabat sekaligus seorang kakak yang mengayomi, yang bisa menuntun bagaimana merengkuh hidup agar lebih terhormat dan bermartabat.  Mas Sugeng telah mampu menunjukkan dirinya sebagai seorang doktor yang sebenarnya, pendidik yang meneladani. Beruntunglah kampus yang mempekerjakannya sebagai seorang dosen dan juga pejabat struktural.

Rasanya memang perlu banyak belajar pada sosoknya. ia seorang yang begitu serius, dan telah mengesankan dirinya sebagai seorang pendidik tulen. Namun di balik kehidupannya, ia kerap menjadi seorang jenaka yang begitu menghibur, kendati di balik kejenakaannya menyimpan kritik sosial bagi sepergaulannya. Meski begitu, saya melihat Mas Sugeng bukan sosok reformis sosial dalam menjalani hidupnya. Ia membiarkan alur hidupnya berjalan di tatanan yang seadanya.

Di sini saya melihat keperibadian Mas Sugeng seolah mematroni keperibadian Herbert Spencer, sosiolog Inggris yang terkenal dengan teori evolusi sosialnya. Sebab Mas Sugeng memperlihatkan dirinya sebagi sosok yang melihat serentetan perubahan dalam hidupnya terjadi karena usaha-usaha untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan, keadaan, serta kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyatakat.

Tetapi apapun itu, saya termat penting untuk belajar dari sosok Mas Sugeng. Saya tak banyak mengenal budaya Jawa secara runtun, saya cukup melihat pada keperibadiannnya. Di sana ‘setelan Jawa’ cukup hadir dalam diri senior yang satu ini. Saya bangga mengenal dirimu Mas Sugeng. Saya masih harus belajar banyak.
-------
Hamzah Palalloi – membasuh muka
Cikini, 5 September 2016.
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments