» » Easy to Relation, bukan Easy to Lazy

Easy to Relation, bukan Easy to Lazy

Penulis By on 08 March 2017 | No comments

BELASAN tahun lamanya kehidupan kemanusiaan telah menyatu dengan kehidupan jejaring sosial yang digerakkan teknologi bernama internet; international networking. Wajah kemanusiaan manusia tak lagi berbatas dinding-dinding kamar; tak berbatas kata tabik; dan tak berbatas sekat-sekat apapun. Hubungan menyatu dalam satu genggaman dan gerak-gerak tuts komputerisasi yang bernyawa.

Kebebasan akhirnya menyeruak ke mana-mana, semua jadi abai dan tersapih oleh kemajuan yang diciptakan sendiri. Tersadar dan cemas tatkala kodrati kemanusiaan tercampakkan oleh produknya sendiri; ketika pikiran teknologi mengalahkan humanistik. Sadar tetapi menikmati, hingga menjadi selaput tipis yang tak berbeda dengan ketidaksadaran itu sendiri. Pusing menghadapinya, tetapi lebih pusing jika tak menikmatinya. Begitulah rajam teknologi. Consciousness mind!

Kata Sigmund Feud (1856-1939), kesadaran itu merupakan suatu bagian terkecil atau tipis dari keseluruhan pikiran manusia. Seibarat gunung es di bawah permukaan laut, bongkahan es itu lebih besar di dalam ketimbang yang terlihat di permukaan. Itu definisi dan analogi Consciousness mind! Banyak yang tahu ini.

Kesadaran inilah yang mencemaskan wajah bangsa 250 jutaan orang ini; hoax dilawan hoax, twit  dilawan twit, rakyat berteknologi ria–pemerintah pun (seolah) repsesif, karena tak mampu membendung derasnya jejaring networking rakyatnya yang terus berbicara apa saja, semaunya - hingga tiba di titik kesan pada hasrat meruntuhkan wibawa dan simbol bernegara, menjadi alat makar.

Itu tak keliru, memang perlu kewaspadaan, sebab kemajuan teknologi komunikasi bisa menjelma menjadi pisau tajam yang bisa merobek segalanya, jika tak mengembalikan posisinya sebagai tools yang memudahkan pekerjaan. Bukan menjadikan teknologi yang memaksa manusia mengubah diri menjadi robotik yang di atur produknya sendiri.

Ini kecemasan yang sebenarnya telah diramal ilmiah Herbert Marcuse (1898-1979) di tahun 60-an, pemikir kritis dari Mazhab Frankfurt yang dikenal dengan pandangan masyarakat ‘one dimensional man’-nya. Marcuse berpendapat bahwa manusia menciptakan, memanipulasi dan memeralat benda-benda, alam serta mesin-mesin, untuk memudahkan hidupnya. Di saat yang sama, hal itu juga berlangsung di wilayah politik dan kultural. Di sinilah manusia dan masyarakat tak terkecuali berada dalam penguasaan dan manipulasi teknologi. Ramalan teoritik yang sebenar-benarnya telah terjadi di era kekinian.

Marcuse (seolah) ingin mengingatkan bahwa manusia akan hidup nikmat jika dialah yang memengaruhi teknologi, memengaruhi modernitas, bukan sebaliknya. teknologi itu easy to relation bukan easy to lazy. Dibuat untuk memudahkan berhubungan satu dengan lainnya. Negara punya banyak cara bijak mengaturnya, tanpa perlu menjadi Korea Utara yang membatasi internet dan jejaring networking seperti hantu gentayangan yang meruntuhkan kewibawaan pemimpin dan simbol-simbol negara.

Negara bisa bijak tanpa perlu huru-hara mencari biang berklaim makar, karena ketidak mampuan mencari formula tepat. Sebab negara tahu, bahwa memuliakan sisi-sisi kemanusiaan rakyatnya, adalah cara tepat mengalahkan angkuhnya teknologi.

Berbicara langsung, menepuk pundak rakyat, menyediakan ruang-ruang berkumpul yang nyaman, membangun taman-taman kota, tak memaksakan desa menjadi kota, tak memaksakan yang instan, adalah sedikit dari banyak cara memuliakan manusia. Tak salah jika belajar pada kalimat bermakna Goenawan Mohammad, sastrawan bangsa ini; “Kita tak jadi bijaksana, bersih hati dan bahagia karena membaca buku petunjuk yang judulnya bermula dengan "How to"...Kita harus terjun kadang hanyut, kadang berenang dalam pengalaman. Kita harus berada dalam perbuatan, dalam merenung dan merasakan dalam laku. Ujian dan hasil ditentukan di sana.”

**

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments