» » Monianse Effect

Monianse Effect

Penulis By on 16 January 2018 | No comments

Tulisan ini tak hendak menggiring opini untuk berpetakonflik pada salah satu kandidat wakil walikota di Bumi Wolio ini, khususnya pada pribadi La Ode Ahmad Monianse, tokoh muda, penggiat sosial enterprneurship, mantan anggota dewan, Dirut PDAM, hingga ketua umum di partai penguasa tataran lokal Kota Baubau. Ia juga sosok yang tak banyak mengumbar bicara.

Toh, jika Monianse adalah menjadi pilihan atau tidak, itu hak masing-masing orang. Semua harus dihormati tanpa perlu debat yang menohok urat syaraf. Sebagai pembelajar komunikasi politik, fenomena Ahmad Monianse baik menjadi kajian khusus di tingkat akademik, khususnya hubungan dan polarisasi “kekuatan orang” dengan “kekuatan organisasi politik” berbentuk partai.  Stressingnya di situ – pada pro kontra yang menggiringnya. Bukan dipilih atau tidak dipilih, agar tetap dalam koridor objektivisme politik.

Tatkala disandingkan dengan petahana, AS. Tamrin, dibanyak sisi Monianse diwacanakan lemah dukungan, dengan berkaca pada hasil Pemilu legislatif 2014 silam yang membenam namanya, padahal ia seorang ketua partai. Bahkan pragmatisme politik jelang Pilwali 2018 juga mengurung sosok aktivis sosial ini yang diwacanakan secara subjektif sebagai politisi yang ‘pas-pasan’ secara materil. 

Siapapun Monianse, ia teramat seksi dalam politik sekelas Pilwali, sekali lagi ini Pilwali,  bukan pemilu legislatif.  Ia memiliki kekuatan politik mumpuni secara struktural, terkecuali ia ‘dikudeta’ mendadak dalam posisinya sebagai ketua PDI-P jelang
Pilwali. Sebab bagaimanapun partai besutan Megawati Soekarno Putri ini amat ditakuti lawan-lawannya karena jejaring kekuasaan yang begitu mengakar secara nasional.

Di sudut ini, Monianse tentu tak bisa dipandang remeh, apalagi Baubau adalah “kota” yang tentu menjadi salah satu teropong  politik Senayan sepaket dengan Pilgub Sultra, di mana PDIP secara nasional memiliki ambisi merebut kuasa dari dominasi Partai Amanat Nasional (PAN) di Bumi Anoa ini di Pemilu 2019, sebab secara politik Sultra menjadi salah satu “aib politik” Moncong Putih. Singkatnya, hasil Pilkada di Sultra dan Baubau akan berbanding lurus dengan Pemilu 2019 nanti.

Andai saja, Monianse paten sebagai pasangan AS.Tamrin, dan paten sebagai ketua PDI-P Baubau,  maka segala “kekurangan” Monianse hanya terlihat hingga AS Tamrin mengakhiri masa jabatannya sebagai walikota  di bulan Pebruari 2018 nanti. Sebab, kekurangan itu muncul akibat dominasi AS Tamrin sebagai walikota yang dinilai memiliki basis pemilih tradisonal di beberapa kalangan.

Cara melihatnya secara objektif, yakni meletakkan AS. Tamrin sebagai kandidat walikota saja, sebagai ketua partai saja, bukan sebagai petahana, maka terlihat posisi AS.Tamrin dan Monianse, menjadi sejajar, tetapi secara struktural di politik nasional, Monianse tentu akan membaik, apalagi jika struktur-struktur itu akan bekerja maksimal. Di situ seksinya politik Monianse, ia bisa melahirkan banyak effek, bila saja terabaikan. 

Sekali lagi, catatan kecil ini tak hendak menggiring pilihan pada paket AS. Tamrin-Monianse, sebab kandidat pasangan lainnya tentu menawarkan visi-misi yang menjanjikan. Memilih adalah hak Anda yang dihormati regulasi. Sama dihormatinya, ketika AS. Tamrin memilih atau tidak Monianse sebagai pasangan politiknya d Pilwali.

Ini sekedar catatan kecil yang berharap menuai makna, bahwa menghitung-hitung politik, bukan menghitung angka-angka paten, semua dipertimbangkan secara matang. Politik pun tidak selalu membuai rupiah sebagai jalan utama, tetapi menawarkan orang sebagai alat uji coba. Apalagi, PDI-P memiliki kebiasaan ‘bermain’ di akhir-akhir pertandingan.

Kita tunggu saja, siapa pasangan paten Pak Tamrin yang didaftar di KPU, semua berpulang pada pilihan politiknya. Tuah dan resiko itulah seni dalam berpolitik, sebab kandidat lainnya pun telah menunggu dan bersorak untuk berkompetisi. Siapapun terpilih, berharap Baubau bisa lebih baik. Selamat malam.**
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments