» » Politik yang (selalu) Menjala Kebencian

Politik yang (selalu) Menjala Kebencian

Penulis By on 17 January 2018 | No comments

Rasa-rasanya setiap tahun masyarakat dunia terjerembab dalam suasana kebencian, pemicunya politik pilih-memilih. Tak memandang apakah itu terjadi di negara ber-ideologi outoritarian – libertarian – Pancasilais, negara kaya atau miskin, sama saja, kebencian selalu hadir dan menebar seperti permainan yang membuai dan mengasyikkan.

Fenomena ini mentasbihkan jika politik (seolah) menjadi ruang kosong yang diisi oleh sifat buruk manusia dibalik topeng-topeng kecurangan sejenis akun palsu, berita hoaks, ujaran kebencian, dan sejenisnya. Situasi ini membangun kesadaran, bahwa manusia (memang) bukanlah mahluk sejenis malaikat yang ditakdir hidup apatis untuk menerima kebenaran belaka. Juga sebaliknya, tidak ditakdir apatis seperti Iblis untuk hidup dalam kemungkaran belaka.

Manusia penggabungan dua wujud mahluk – malaikat dan iblis, sebab ia memiliki kedua sifatnya. Karenanya banyak yang menyimpul, jika sebuah perhelatan politik pilih memilih yang penuh dengan intrik kebencian, berarti manusia telah mengubah dirinya dalam peran iblis yang hadir menjala kebencian di lautan luas bernama kekuasaan.

Pantas dan wajar saja jika kemudian lahir sekelompok orang mengharamkan dunia politik ini. Pantas pula pula mengapa kaum outoritarian, melahirkan pemimpin-pemimpinnya bukan dengan pilih-memilih, tetapi mengunakan metode putra mahkota, pewarisan kekuasan dan sejenisnya.

Outoritarianisme adalah sebuah ideologi yang percaya, jika pusat kebenaran itu ada di tangan pemimpin (raja), sebab pemimpin adalah perwakilan Tuhan, seperti dipraktekkan di negara-negara berhaluan religi, kerajaan, hingga komunis ortodoks.  Bahaya besar di ideologi otoritarian ini adalah lahirnya tirani, Korea Utara contohnya.

Outoritarian ini yang memaksa lahirnya libertarisme – ideologi yang berpendapat jika semua manusia adalah pusat kebenaran, karena manusia semuanya dianggap perwakilan Tuhan yang bisa menemukan jalan kebenarannya sendiri,. Bahaya terbesar di ideologi ini adalah logika kebebasan, - kebebasan manusia. Seperti diperankan negara-negara berhaluan demokrasi dewasa ini.

(Mungkin) ini yang membuat Marciavelli berteori, bahwa dari semua ideologi buruk itu, demokrasi sebaik-baiknya turunan ideologi. Ibarat kata, manusia memang tak diberi ruang mendapat ideologi baik, semuanya  buruk!. Itu berarti manusia memang didekatkan pada iblis.

Pantas pula jika ada yang berpikir untuk menjadi ‘golongan putih’. Peristilahan yang ontologisnya menggambarkan orang untuk tidak terjerembab dalam situasi pilih-memilih, titik. Bukan praktek passif dan pembangkangan terhadap suatu sistem.

Golongan Putih pada hakikatnya adalah sebuah ketulusan rasa, kecermatan, dan ketenangan jiwa manusia untuk tidak terjerembab dalam jala kebencian di ruang bingkai bernama politik. Namun zaman (seolah) telah menggerus makna, golongan ini dianggap sebagai bentuk sistem yang berdiri sendiri, terstruktur, dan dianggap sebagai sebuah perlawanan pada sistem. Bahkan mengkampanyekannya berarti bersiap berhadapan dengan logika hukum, seperti di Indonesia ini.

Tulisan ini tak hendak menyapih perdebatan, bahwa politik pilih memilih adalah ruang  pertentangan antara malaikat versus iblis, tidak pula di ruang bertuhan atau atheis. Sebaliknya membangun kesadaran bahwa politik yang diperankan manusia, sesungguhnya adalah “Peran sebenaranya”– bukan sandiwara, seperti ulasan teori Darmaturginya Erving Goffman, yang memperkenalkan bahwa manusia memiliki panggung belakang dan depan.

Jika saja  manusia di dunia ini menyepakati bila politik bukan sandiwara, maka manusia akan menghadirkan malaikat dalam dirinya. Ia pasti statis berpedoman pada kebenaran, dan kebenaran adalah pangkal kebahagiaan. Itu bukan hal yang mustahil, sebab potensi kebenaran itu dimiliki.

Lalu mengapa memilih menjala kebencian? Banyak hal; kebutuhan perut, logika bersumbu pendek, dan matinya nalar dalam diri manusia. Seperti kata King Martin Luter, “darkness cannot drive out darknes; only light can do that. Hate cannot darive out hate; only love can do that”. ------ kegelapan tak bisa mengusir kegelapan. Hanya terang yang dapat mengusirnya. Sama halnya dengan kebencian. Kebencian dibalas kebencian tak dapat mnghilangkan kebencian., hanya cinta yang dapat menghilangkannya. 

Tetapi saya hendak berkata, bila saya lebih memilih, sistem pemilihan kepala daerah secara politik cukup di DPRD masing-masing daerah.**

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments