» » Interaksionisme Simbolik

Interaksionisme Simbolik

Penulis By on 16 July 2010 | No comments

POKOK BAHASAN    
Komunikasi sebagai proses simbolik

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
Setelah mengikuti mata kuliah ini diharapkan mahasiswa dapat :
* Menjelaskan Pengertian simbolik interaksinonisme
* Menjelaskan Pemikiaran George Herbert Mead
* Menjelaskan Pemikiran Herbert Blumer


A. PENGERTIAN SIMBOLIK INTERAKSIONISM

       "No man is a island". Penggambaran diri manusia melalui pepatah pendek ini cukup substansial sifatnya. Dikatakan demikian, sebab manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang berinteraksi. Bahkan interaksi itu tidak melulu ekslusif antar manusia, tetapi juga inklusif dengan seluruh mikrokosmos. Termasuk interaksi manusia dengan seluruh alam ciptaan. Singkatnya, manusia selalu mengadakan interaksi. Setiap interaksi mutlak membutuhkan sarana tertentu. Sarana menjadi medium simbolisasi dari apa yang di maksudkan dalam sebuah interaksi. Oleh sebab itu tidaklah jauh dari benar manakala para filsuf merumuskan diri manusia dalam konsep animal simbolicum (makhluk simbolis) selain animal sociosus (makhluk berteman, berelasi) dan konsep tentang manusia lainnya. Fokus tulisan ini ialah diri manusia seturut perspektif teori interaksi simbolik.

       Apa itu "Teori Interaksi Simbolik"? Teori interaksi simbolik berinduk pada perspektif fenomenologis. Istilah fenomenologis, menurut Natanson, merupakan satu istilah generik yang merujuk pada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna obyektifnya sebagai titik sentral untuk memperoleh pengertian atas tindakan manusia dalam sosial masyarakat. Pada tahun 1950-an dan 1960-an perspektif fenomenologis mengalami kemunduran. Surutnya perspektif fenomenologis memberi kemungkinan bagi para ilmuwan untuk memunculkan teori baru dalam bidang ilmu sosial. Kemudian muncullah teori interaksi simbolik yang segera mendapat tempat utama dan mengalami perkembangan pesat hingga saat ini.

Max Weber adalah orang yang turut berjasa besar dalam memunculkan teori interaksi simbolik. Beliau pertama kali mendefinisikan tindakan sosial sebagai sebuah perilaku manusia pada saat person memberikan suatu makna subyektif terhadap perilaku yang ada. Sebuah tindakan bermakna sosial manakala tindakan tersebut timbul dan berasal dari kesadaran subyektif dan mengandung makna intersubyektif. Artinya terkait dengan orang di luar dirinya. Teori interaksi simbolik dipengaruhi oleh struktur sosial yang membentuk atau menyebabkan perilaku tertentu yang kemudian membentuk simbolisasi dalam interaksi sosial masyarakat. Teori interaksi simbolik menuntut setiap individu mesti proaktif, refleksif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang unik, rumit dan sulit diinterpretasikan. Teori interaksi simbolik menekankan dua hal. Pertama, manusia dalam masyarakat tidak pernah lepas dari interaksi sosial. Kedua ialah bahwa interaksi dalam masyarakat mewujud dalam simbol-simbol tertentu yang sifatnya cenderung dinamis.

       Teori interaksionisme-simbolik dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh-tokohnya seperti Goerge H.Mead dan Herbert Blummer. Awal perkembangan interaksionisme simbolik dapat dibagi menjadi dua aliran / mahzab yaitu aliran / mahzab Chicago, yang dipelopori oleh oleh Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan George Herbert Mead. Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam cara yang sama dari ketika studi tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk pengalaman nya, dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang.

Blumer dan pengikut nya menghindarkan kwantitatif dan pendekatan ilmiah dan menekankan riwayat hidup, autobiografi, studi kasus, buku harian, surat, dan nondirective interviews. Blumer terutama sekali menekankan pentingnya pengamatan peserta di dalam studi komunikasi. Lebih lanjut, tradisi Chicago melihat orang-orang sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak dapat diramalkan. masyarakat dan diri dipandang sebagai proses, yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan inti sari hubungan sosial.

       Menurut H. Blumer teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka, (2) makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”, dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung. “Sesuatu” – alih-alih disebut “objek” – ini tidak mempunyai makna yang intriksik. Sebab, makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis.

       Bagi H. Blumer, “sesuatu” itu – biasa diistilahkan “realitas sosial” – bisa berupa fenomena alam, fenomena artifisial, tindakan seseorang baik verbal maupun nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”.

Sebagai realitas sosial, hubungan “sesuatu” dan “makna” ini tidak inheren, tetapi volunteristrik. Sebab, kata Blumer sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian kegiatan olah mental: memilih, memeriksa, mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya.

       Dengan demikian, pemberian makna ini tidak didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan fungsi instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan sikap aktor atas sesuatu tersebut. Dari sini jelas bahwa tindakan manusia tidak disebabkan oleh “kekuatan luar” (sebagaimana yang dimaksudkan kaum fungsionalis struktural), tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam” (sebagaimana yang dimaksud oleh kaum reduksionis psikologis) tetapi didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut self-indication.

       Menurut Blumer proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses self-indication ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia memaknakan tindakan itu.

       Lebih jauh Blumer dalam buku yang sama di halaman 78 menyatakan bahwa interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain, bukan hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana model stimulus-respons. Selain menggunakan Interaksionis Simbolik, kasus Sampit bisa didekati dengan metode Hermeneutik. Hermeneutik dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau falsafah yang menginterpretasi makna. Pada dasawarsa ini, Hermeneutik muncul sebagai topik utama dalam falsafah ilmu sosial, seni dan bahasa dan dalam wacana kritikan sastera yang mempamerkan hasil interpretasi teks sastera.

       Perkataan Hermeneutik berasal dari dua perkataan Greek: hermeneuein, dalam bentuk kata kerja bermakna ”to interpret” dan hermeneia, dalam bentuk kata nama bermakna ”interpretation”. Kaedah ini mengutamakan penginterpretasian teks dalam konteks sosiobudaya dan sejarah dengan mendedahkan makna yang tersirat dalam sesebuah teks atau karya yang diselidiki. Dokumen awal menjelaskan bahawa seorang ahli falsafah, iaitu Martin Heidegger menggunakan kaedah Hermeneutik pada tahun 1889-1976. Walau bagaimanapun, Hermeneutik telah mula dipelopori oleh Schleimarcher dan Dilthey sejak abad ke-17 dan diteruskan oleh Habermas, Gadamer, Heidegger, Ricoeur dan lain-lain pada abad ke-20.

       Menurut Mueller (1997), Hermeneutik adalah seni pemahaman dan bukan sebagai bahan yang telahpun difahami. Hermeneutik juga adalah sebahagian daripada seni pemikiran dan berlatarkan falsafah. Oleh itu, untuk melakukan penginterpretasian terhadap ilmu pengetahuan tentang bahasa, maka adalah penting untuk memahami ilmu pengetahuan individu. Tetapi, pada hakikatnya adalah mustahil untuk menganalisis aspek-aspek psikologi seseorang itu. Kejayaan seni penginterpretasian bergantung kepada kepakaran linguistik dan kebolehan memahami subjek yang dikajinya.

       Simbolik interaksionisme adalah cara kita menginterpretasikan dan memberi makna pada lingkungan disekitar kita melalui cara kita berinteraksi dengan orang lain. Teori ini berfokus pada cara orang berinteraksi melalui simbol yang berupa kata, gerak tubuh, peraturan dan peran.

    Perpektif simbolik interaksionism mendasarkan pandangannya pada asumsi bahwa manusia mengembangkan satu set simbol yang kompleks untuk memberi makna terhadap duni. Karenanya makna muncul melalui interaksi manusia dengan lingkungnnya. Lingkungan pertama yang mempengaruhi pembentukan makna adalah keluarga. Keluarga adalah kelompok sosial terkecil dan individu mengembangkan konsep diri dan identitas melalui interaksi sosial tersebut.

       Berdasarkan premis tersebut, maka cara terbaik untuk memahami seseorang adalah dengan memperhatikan lingkungan disekitarnya, yakni di mana ia tinggal dan dengan siapa ia berinteraksi.
    Ada sejumlah asumsi pokok dari teori ini,  yakni:
  1. Individu dilahirkan tanpa punya konsep diri. Konsep diri dibentuk dan berkembang melalui komunikasi dan interaksi sosial.
  2. Konsep diri terbentuk ketika seseorang bereaksi terhadap orang lain dan melalui persepsi atas perilaku tersebut.
  3. Konsep diri, setelah mengalami perubahan, menjadi motif dasar dari tingkah laku.
  4. Manusia adalah makhluk yang unik karena kemampuannya menggunakan dan mengembangkan simbol untuk keperluan hidupnya. Binatang menggunakan simbol dalam taraf yang amat terbatas, sedangkan manusia selain menggunakan, juga menciptakan dan mengembangan simbol.
  5. Manusia beraksi terhadap segala sesuatu tergantung bagaimana ia mendefinisikan sesuatu tersebut. Misalnya, bila kita sudah memandang si A sebagai pembohong, maka kita tidak akan percaya apa yang si A katakan walaupun benar.
  6. Makna merupakan kesepakatan bersama di lingkungan sosial sebagai hasil interaksi. Sebagai contoh, sesuatu produk media dianggap porno  atau bukan tentu yang menilai adalah komunitas dimana produk media tersebut didistribusikan dan dikonsumsi. Maka dengan demikian, bisa jadi suatu produk media dianggap porno di suatu kelompok masyarakat dan tidak porno bagi kelompok masyarakat lain.
Diri [self] seseorang berkembang melalui empat tahap, yaitu:
a. Tahap persiapanTahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri utnuk mengenal dunia sosialnya dn untuk memperoleh pemhaman tentang diri.
b. Tahap meniruTahap ini ditandai dengan seorang anak yang mulai menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang tuanya atau orang dewasa. Kesadaran anak tentang nma diri, orang tua, kakak dan sebagainya mulai terbentuk. Serta kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang yang telah terbentuk.
c. Tahap bertindak
Peniruan yang dilakukan oleh anak sudah mulai berkurang dan digantikan olehperan yan ddimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adnya kemampuan saling bekerja sama. Secar bertapah anak mulai menyadari bahwa ada norma dan peraturan tertentu yang berlaku di luar keluarganya dan mulai memahaminya.
d. Tahap penerimaan norma kolektifPada tahap ini seorang telah dianggap dewasa. Dia suda dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarkat secara luas, yang dapat menerima perbedaan dn menyadari pentingnya peratruan, serta memiliki kemampuan bekerjasama secara mantap.

B. KOMUNIKASI SEBAGAI PROSES INTERAKSI SIMBOLIK       Pemahaman komunikasi dengan segala praksisnya merupakan proses keseharian manusia. Dapat dikatakan bahwa proses komunikasi merupakan proses kehidupan itu sendiri. Komunikasi tidak bisa dipisahkan dari seluruh proses kehidupan konkret manusiawi. Aktivitas komunikasi merupakan aktivitas manusiawi.
    Hakikat komunikasi adalah proses ekspresi antar manusia. Setiap manusia mempunyai kepentingan untuk menyampaikan pikiran atau perasaan yang dipunyai. Tentu saja, ekspresi pikiran dan perasaan itu memakai dan memanfaatkan bahasa sebagai medium komunikasinya. Dalam bahasa komunikasi, setiap orang atau sesuatu yang menyampaikan sesuatu disebut sebagai komunikator. Sesuatu yang disampaikan atau diekspresikan adalah pesan (message). Seseorang atau sesuatu yang menerima pesan adalah komunikan (communicatee).

Dalam setiap kehidupan, manusia memerlukan pemahaman yang lebih mendalam atas segala hal yang dilakukannya, termasuk di dalamnya proses komunikasi. Proses komunikasi adalah aktivitas yang diperlukan untuk mengadakan dan melakukan tindakan komunikatif, baik yang dilakukan oleh komunikator, komunikan atau aktivitas penyampaian pesan, noise yang bisa saja terjadi dalam setiap tindakan komunikatif dan lainnya.

    Proses komunikasi dapat dilihat dalam dua perspektif besar, yaitu perspektif psikologis dan mekanis. Perspektif psikologis dalam proses komunikasi mau memperlihatkan bahwa komunikasi adalah aktivitas psikologi sosial yang melibatkan komunikator, komunikan, isi pesan, lambang, sifat hubungan, persepsi, proses decoding dan encoding. Perspektif mekanis mau memperlihatkan bahwa proses komunikasi adalah aktivitas mekanik yang dilakukan oleh komunikator, yang sangat bersifat situasional dan kontekstual.

Dari proses komunikasi yang begitu kompleks dan tidak sederhana tersebut, refleksi komunikasi diperlukan untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas dan komprehensif. Refleksi proses komunikasi tersebut sering dimasukkan dalam disiplin filsafat komunikasi.
    Filsafat komunikasi adalah suatu disiplin yang menelaah pemahaman (verstehen) secara lebih mendalam, fundamental, metodologis, sistematis, analitis, kritis dan komprehensif teori dan proses komunikasi yang meliputi segala dimensi menurut bidang, sifat, tatanan, tujuan, fungsi, teknik dan metode-metodenya.

    Bidang komunikasi meliputi komunikasi sosial, komunikasi organisasional, komunikasi bisnis, komunikasi politik, komunikasi internasional, komunikasi antar budaya, komunikasi pembangunan, komunikasi tradisional dan lain-lain.
    Sifat komunikasi meliputi komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal. Tatanan komunikasi meliputi komunikasi intrapribadi, komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, komunikasi massa dan komunikasi media.

    Tujuan komunikasi bisa terdiri dari soal mengubah sikap, mengubah opini, mengubah perilaku, mengubah masyarakat dan lainnya. Sementara itu, fungsi komunikasi adalah menginformasikan, mendidik, mempengaruhi.

    Teknik komunikasi terdiri dari komunikasi informatif, komunikasi persuasif, komunikasi pervasif, komunikasi koersif, komunikasi instruktif dan hubungan manusiawi. Metode komunikasi meliputi jurnalitstik, hubungan masyarakat, periklanan, propaganda, perang urat syaraf, perpustakaan.
       Setelah kita telaah pesan, yakni mengemas pikiran sebagai isi pesan dengan bahasa sebagai lambang, sambil melakukan pertimbangan nilai logika, etika dan estetika, yang kesemuanya itu adalah proses psikologis, maka kini tibalah saatnya untuk menelaah proses mekanistik, ketika pesan ditransmikian oleh komunikator dengan indera bibir atan lengan untuk diterima komunikan dengan indera telinga atau mata. Proses perjalanan pesan dari seorang kepada orang lain, atau dalam bahasan komunikasi “dari komunikator kepada komunikan”, kini bukan lagi proses psikologis tetapi proses sosiologis.

    Apabila komunikasi berlangsung dalam tataran interpersonal tatap muka dialogis timbal balik [face-to-face-dialogical-reciprocal] ini dinamakan itnerkasi simbolik. Apabila interaksi simbolik ini menjadi istilah komunikiasi dan sosiologi, tidap perlu diherankan, sebab komunikasi dan sosiologi bersifnat interdisipoiner, yakni objek materialnya sama, yakni manusia,, tegasnya perilaku manusia. interaksi simbolik dapat dikatakan sebagai perpaduan dari perspektif sosiologis dan perpsepektif somunikologis, oleh karena interaksi adalah istiliah dan garapan sosiologis, sedangkn simbolik adalah istilah dan garapan ilmu komunikasi.

    Joel M. Charon dalam bukunya “Symbolic Interactionism” mendefinisikan interaksi sebagai “aksi sosial bersama; individu-individu berkomunikasi satu sama lain mengenai apa yang merek lakukan dengan mengorientasikan kegiatannya kepada dirinya masing-masing” [lihat Prof. Onong Uchyana Efendi, MA, 2003: 390].

    Interksionisme merupakan pandangan-pandangan terhadap realitas sosial yang muncul pada akhir dekade 1960-an dan awal dekade 1970, tetapi para pakar beranggapan bahwa pandangan tersebut tidak bisa dikatakan baru. Stephen W Littlejhon dalam buknya yang berjudul “Theories of Human Communication” mengatakan bahwa yang memberikan dasar adalah George Herbert Mead yang diteruskan oleh  Blumer.

       Awal perkembangan interaksionisme simbolik dapat dibagi menjadi dua aliran / mahzab yaitu aliran / mahzab Chicago, yang dipelopori oleh oleh Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan George Herbert Mead.

       Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam cara yang sama dari ketika studi tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk pengalaman nya, dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang. Blumer dan pengikut nya menghindarkan kwantitatif dan pendekatan ilmiah dan menekankan riwayat hidup, autobiografi, studi kasus, buku harian, surat, dan nondirective interviews.

       Blumer terutama sekali menekankan pentingnya pengamatan peserta di dalam studi komunikasi. Lebih lanjut, tradisi Chicago melihat orang-orang sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak dapat diramalkan. masyarakat dan diri dipandang sebagai proses, yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan inti sari hubungan sosial.

       Tradisi yang kedua , aliran / mahzab Iowa mengambil lebih dari satu pendekatan ilmiah. Manford Kuhn dan Carl Dipan, para pemimpin nya, percaya konsep interactionist itu bisa diterapkan. Walaupun Kuhn menerima ajaran dasar interaksionalisme simbolik, ia berargumentasi bahwa metoda sasaran jadilah lebih penuh keberhasilan dibanding " yang lembut" metoda yang dipekerjakan oleh Blumer. Salah satu karya Kuhn adalah suatu teknik pengukuran yang terkenal dengan sebutan Twenty Statement Test.

Hari ini, menurut interactionism Bagus, simbolik telah menyatukan studi bagaimana, kelompok mengkoordinir tindakan mereka, bagaimana emosi dipahami dan dikendalikan, bagaimana kenyataan dibangun, bagaimana diri diciptakan, bagaimana struktur sosial besar mendapatkan dibentuk dan bagaimana kebijakan publik dapat dipengaruhi.
       Di dalam pembahasan ini kita berkonsentrasi pada interactionism simbolik klasik, gagasan dasar dari perkembangan, dan perluasan yang teoritis yang paling dikenali di dalam bidang komunikasi.

Teori Simbolik Interaksionisme Sebagai Kajian Sosiologi 

Menurut Littlejohn (2002: 12-13), terdapat lima kelompok teori komunikasi yang kini tengah berkembang dalam diskursus ilmu komunikasi:
  1. Structural dan functional theories; yakni teori komunikasi yang dikembangkan dari ilmu sosial. Teori ini melihat struktur sosial sebagai sesuatu yang nyata sekaligus dapat diukur. Sebagai contoh, teori ini mengatakan bahwa hubungan personal tersusun sedemikian rupa sebagaimana material bangunan membentuk rumah, melalui pengorganisasian bahasa dan sistem sosial.
  2. Cognitive and behavioral theories; merupakan teori yang dikembangkan dari psikologi, yakni berfokus pada hubungan cara berpikir dengan tingkah laku individu.
  3. Interactionist theories; teori yang melihat kehidupan sosial sebagai proses interaksi. Komunikasi dalam hal ini merupakan wahana belajar bagaimana bersikap dan bagaimana memaknai. Teori ini juga bisa digunakan untuk menjelaskan pola ritual yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu. Teori interaksionisme simbolik berada pada ranah ini.
  4. Interpretive theories; teori ini mencoba menjelaskan arti dari suatu tindakan atau teks dalam kaitannya dengan pengalaman individu.
  5. Critical theories; teori ini berupaya menelisik kepentingan publik dalam struktur komunikasi yang ada. Teori ini biasanya berfokus pada situasi yang timpang (inequal) dan menindas (oppression).
       Sedangkan sebagai disiplin akademis, paling tidak komunikasi kini memiliki lima cabang kajian, yaitu:
1. Interpersonal communication, berhubungan dengan interaksi antar individu.
2. Group communication, berhubungan dengan interaksi manusia dalam kelompok yang kecil.
3. Organizational communication, terjadi dalam lingkup jaringan kooperasi yang luas.
4. Mass communication, terkait dengan komunikasi publik dengan menggunkan media massa.
5. Intercultural studies; kajian yang berhubungan dengan pola komunikasi antara individu yang memiliki latar belakang kultur yang berbeda.
       Setiap ilmu mempunyai obyek formal maupun materialnya. Di dalam obyek materialnya beberapa ilmu dapat mempunyai obyek yang sama, akan tetapi demi penjelasan pemisahan ilmu yang satu dengan ilmu lainnya maka setiap ilmu mempunyai obyek formal yang berbeda-beda. Obyek formal inilah merupakan perspektif dari masing-masing ilmu berdasarkan apa yang dianggap benar terutama menurut norma dan ukuran ilmiah (Susanto, 1986 : 97). Jadi perspektif merupakan pandangan atau pemahaman berdasarkan ukuran-ukuran ilmiah terhadap suatu fenomena atau peristiwa tertentu. Apapun pemahaman kita terhadap objek tergantung pada perspektif yang dimiliki oleh sesseorang dalam mengamati peristiwa yang bersangkutan.
       Adanya perbedaan perspektif antara ilmu yang satu dengan lainnya, di satu sisi dapat melahirkan pendekatan, teori, pandangan, dan interpretasi yang berlainan disisi lain juga dapat melahirkan pertentangan antar disiplin ilmu dalam memahami suatu fenomena. Tiap perspektif sebagai suatu mental window atau worl view yang dipergunakan oleh ahli-ahli disiplin tertentu mungkin bertolak belakang dan sulit dipertemukan antara yang satu dengan lainnya. Masing-masing perspektif memiliki asumsi serta mengenai realitas sosial tersendiri yang sulit diperbandingkan satu per satu (incommensureable) berdasarkan sistem nilai yang bebas dari suatu hal tertentu. Setiap perspektif ilmu dalam mengamati fenomena mempunyai kreteria kebenaran  (goodness criteria) masing-masing sehingga tidak selayaknya jika kita mempertemukan antara perspektif yang satu dengan lainnya. Menurut Lindloft (1994) yang dikutif dalam Nurhidayat :
       “…perspective are incommensureable. That is the asumptions and explanations of two or more perspective within dalam a given discipline are  so different that key cannot be compared by meant of an independent value system. Thus andherence to one perspective forcloses the possibility of the acceptance of competing one (Lindloft dalam Hurhidayat, 2000:4).
    Sebagai ilustrasi, ilmu sosial yang terdiri dari sosiologi, psikologi, antropologi, ekonomi, dan politik mempunyai obyek materi yang sama, akan tetapi setiap ilmu memfokuskan pada aspek-aspek perilaku yang berbeda. Seperti apa yang diutarakan Calhoun :
Sosiology, psycology, antropology, economic, dan political science is part of the family sosial sciences. All sosial sciences are concerned with human behavior. But although they share the same basic subject matter, each sosial science focuses on a different aspek of behavior (Colhoun, 1991 : 4).

       Sosiologi merupakan studi sistematis tentang kelompok dan masyarakat serta bagaimana pengaruh kelompok/masyarakat tersebut pada perilaku individu. Psikologi lebih tertarik pada sumber perilaku internal sedangkan sosiologi memfokuskan pada sumber perilaku eksternal. Psikologi mempelajari studi sistem syaraf dan efek dari neurotransmitter, hormon, atau stres pada individu. Sosiologi mempelajari kerja dari masyarakat dan efek dari peningkatan, perubahan sikap terhadap kepercayaan dan revolusi politik pada individu. Psikologi terjadi pada kepribadian (personality) – pada perilaku dan sikap yang merupakan karakteristik seseorang tanpa memperhatikan situasi. Sosiologi memfokuskan pada peranan sosial – pada perilaku dan sikap yang merupakan karakteristik seseorang  dalam situasi tertentu tanpa memperhatikan kepribadian individu. Psikologi sosial merupakan jembatan dua disiplin ilmu (sosiologi dan psikologi) yang mempelajari pengaruh kelompok pada perilaku individu dan pengaruh individu pada perilaku kelompok. Sedangkan antropologi merupakan bagian ilmu sosial yang mempelajari masyarakat nonwestern, masyarakat preliterate, komunitas lokal, atau kelompok kecil (Calhoun, 1991 : 5).
    Adanya spesialisasi dalam ilmu sosial maka semakin memperkecil kapling disiplin masing-masing ilmu, akan tetapi hal ini tidak menimbulkan masalah sebab dalam kehidupan masyarakat, permasalahan yang dihadapi semakin komplek sehingga tidak cukup hanya dipecahkan oleh satu disiplin ilmu saja. Untuk itu diperlukan perspektif disiplin ilmu lainnya untuk memperjelas permasalahan yang integral  dan holistik. Pendekatan interdisplinier merupakan suatu kebutuhan namun tidak mengaburkan otonomi masing-masing disiplin ilmu yang telah berkembang berdasarkan bidangnya masing-masing melainkan dengan menciptakan perspektif baru. Perspektif ini bukanlah ilmu melainkan sarana berpikir ilmiah seperti logika, matematika, statistik, dan bahasa. Pendekatan interdisipliner  bukan merupakan fusi antara berbagai disiplin keilmuan yang akan menimbulkan anarki keilmuan, melainnkan suatu federasi yang diikat oleh suatu pendekatan tertentu dimana setiap disiplin ilmu dengan otonominya masing-masing menyumbangkan analisisnya dalam mengkaji obyek yang menjadi telaah bersama (Suriasumantri, 2000 :103).
    Dalam membangun perspektif ilmu, Denzin menganjurkan pada tiga dasar elemen antara lain epistomologi, ontologi, dan metodologi (Denzin dan Lincoln, 1994 : 99). Sedangkan menurut Suriasumantri (2000 :103), perspektif ilmu didasarkan pada elemen ontologi (apa), epistomologi (bagaimana), aksiologi (untuk apa). Berdasarkan penyataan diatas maka dapat dijelaskan bahwa pembentukan perspektif baru didasarkan pada empat elemen diatas yaitu :
* Epistemologi, merupakan prosses untuk mendapatkan ilmu. Hal-hal apa yang harus diperhatikan untuk mendapatkan ilmu yang benar. Cara, teknik  dan sarana apa yang membantu dalam memperoleh ilmu.
* Ontologi berkaitan dengan asumsi-asumsi mengenai objek atau realitas yang diteliti.
* Metodologis berkaitan dengan asumsi-asumsi mengenai bagaimana cara memperoleh pengetahuan  mengenai suatu obyek pengetahuan.
* Aksiologis berkaiatan dengan posisi value judgment, etika, dan pilihan moral peneliti dalam suatu penelitian. Kegunaan atau manfaat ilmu dalam kehidupan masyarakat.
Dengan berdasarkan pada elemen-elemen di atas maka ilmuwan dapat mengenali dan membedakan berbagai perspektif ilmu yang ada dalam kehidupan manusia. Hal lainnya, ilmuwan juga dapat meletakkan setiap ilmu pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan manusia. Tanpa mengenali unsur-unsur setiap perspektif ilmu dengan benar maka ilmuwan bukan saja tidak dapat memanfaatkan kegunaannya secara maksimal tetapi juga kadang-kadang  salah  dalam menggunakannya.

      
Aliran Chicago (Chicago School)
       George Herbert Mead pada umumnya dipandang sebagai pemula utama dari pergerakan, dan pekerjaan nya [yang] pasti membentuk inti dari Aliran Chicago. Herbert Blumer, Mead merupakan pemikir terkemuka, menemukan istilah interaksionlisme simbolik, suatu ungkapan Mead sendiri tidak pernah menggunakan. Blumer mengacu pada label ini sebagai “ suatu sedikit banyaknya pembentukan kata baru liar yang di dalam suatu jalan tanpa persiapan. Ke tiga konsep utama di dalam Teori Mead, menangkap di dalam jabatan pekerjaan terbaik yang dikenalnya, adalah masyarakat, diri, dan pikiran. Kategori ini adalah aspek yang berbeda menyangkut proses umum yang sama, sosial anda bertindak.
       Tindakan sosial adalah suatu sumbu konsep payung yang mana hampir semua psikologis lain dan proses sosial jatuh. Tindakan adalah suatu unit yang lengkap melakukan itu tidak bisa dianalisa ke dalam spesifik sub bagian. Suatu tindakan andangkin sederhana dan singkat, seperti ikatan suatu sepatu, atau andangkin saja merindukan dan mempersulit, seperti pemenuhan suatu rencana hidup. Tindakan berhubungan dengan satu sama lain dan dibangun ujung sepanjang umur hidup. Tindakan andalai dengan suatu dorongan hati; mereka melibatkan tugas dan persepsi maksud, latihan mental, dengan alternatif berat, dan penyempurnaan.
       Dalam format paling dasar, suatu tindakan sosial melibatkan tiga satuan hubungan bagian: suatu awal mengisyaratkan dari seseorang, suatu tanggapan untuk isyarat itu oleh yang lain dan suatu hasil. Hasil menjadi maksud komunikator untuk tindakan. Maksud berada di dalam hubungan yang triadic dari semuanya.
       Hubungan umur dapat meresap, memperluas dan menghubungkan sampai jaringan diperumit. Para aktor jauh diperhubungkan akhirnya di dalam jalan berbeda, tetapi kontroversi ke pemikiran populer, “ suatu jaringan atau suatu institusi tidak berfungsi secara otomatis oleh karena beberapa kebutuhan sistem atau dinamika bagian dalam: berfungsi sebab orang-orang pada poin-poin berbeda lakukan sesuatu yang, dan apa yang mereka lakukan adalah suatu hasil bagaimana mereka menggambarkan situasi di mana mereka disebut ke atas tindakan." Dengan ini gagasan untuk sosial bertindak dalam pikiran, kemudian, mari kita lihat lebih lekat di segi yang pertama dari analisa masyarakat Meadian.
       Pertimbangkan sistem hukum di Amerika Serikat sebagai suatu contoh. Hukum tak lain hanya interaksi antar hakim, dewan juri, pengacara, para saksi, juru tulis, wartawan, dan orang yang lain menggunakan bahasa untuk saling berhubungan dengan satu dengan yang lain. Hukum tidak punya maksud terlepas dari penafsiran dari tindakan dilibatkan itu semua di dalamnya. kaleng Yang sama dikatakan untuk aliran / mahzab, gereja, pemerintah, industri, dan segmen masyarakat lain. Saling mempengaruhi ini antara menjawab ke orang yang lain dan menjawab ke diri adalah suatu konsep penting di dalam teori Mead, dan menyediakan suatu yang baik transisi kepada konsep detik - diri." Nya
       Diri mempunyai dua segi, masing-masing melayani suatu fungsi penting. Menjadi bagian dari yang menuruti kata hati, tak tersusun, tidak diarahkan, tak dapat diramalkan anda. Bagi Blumer, object terdiri dari tiga fisik tipe(barang), sosial ( orang-orang), dan abstrak ( gagasan). Orang-Orang menggambarkan object yang dengan cara yang berbeda, tergantung pada bagaimana mereka biarkan ke arah object itu. Suatu polisi boleh berarti satu hal kepada penduduk dari suatu bagian tertua suatu kota tempat tinggal minoritas dan kepada hal lain. habitat suatu wilayah hunian indah; interaksi yang berbeda di antara penduduk dua masyarakat yang berbeda ini akan menentukan maksud yang berbeda pula.
       Suatu studi yang mempesona, tentang penggunaan ganja ini oleh Howard Becker menggambarkan konsep objek sosial baik sekali. Isyarat menemukan bahwa para pemakai belajar sedikitnya tiga hal melalui interaksi dengan para pemakai lain. Yang pertama akan merokoknya dengan baik. Hampir semua Isyarat orang yang dipertemukan dengan dikatakan yang mereka mempunyai gangguan menjadi tinggi pada andalanya sampai orang yang lain menunjukkan mereka bagaimana cara melakukan itu. Ke dua, perokok harus belajar untuk menggambarkan sensasi yang diproduksi oleh racun sebagai “ hal yang tinggi."
       Dengan kata lain, individu belajar untuk membeda-bedakan efek ganja dan untuk menghubungankannya dengan merokok. Isyarat mengakui bahwa asosiasi ini tidak terjadi secara otomatis dan harus dipelajari_ melalui interaksi sosial dengan para pemakai lain. Sesungguhnya, beberapa pemakai berpengalaman melaporkan orang yang baru bahwa hali itu tentu saja memabukan dan tidak mengetahuinya sampai mereka diajar untuk mengidentifikasi perasaan itu. Akhirnya, para pemakai harus belajar untuk menggambarkan efek yang diinginkan dan menyenangkan. Lagi, ini tidaklah otomatis; banyak pemula tidak menemukan efek yang menyenangkan sama sekali sampai mereka lingkungan mereka menceritakan kepada mereka perlu mempertimbangkannya.
       Di sini, kita melihat ganja itu adalah suatu obyek sosial. Maksudnya diciptakan sedang dalam proses interaksi. Bagaimana orang-orang memikirkan obat ( pikiran)yang ditentukan oleh maksud itu, dan, pengambil-alihan kelompok masyarakat adalah juga suatu produk interaksi. Walaupun Isyarat tidak melaporkan informasi tentang self-concept yang secara rinci, adalah andadah untuk melihat bahwa bagian dari diri boleh juga digambarkan dalam kaitan dengan interaksi di dalam ganja masyarakat merokok.
      
Aliran Iowa
       Manford Kuhn dan para muridnya, walaupun mereka memelihara dasar prinsip interactionis, tidak mengambil dua langkah-langkah baru sebelumnya melihat di teori yang konservatif. Yang pertama akan membuat konsep diri lebih nyata, yang kedua, buatan yang andangkin pertama, menjadi penggunaan dari riset kwantitatif. Di dalam yang area belakangan ini, aliran / mahzab Iowa dan Chicago memisahkan perusahaan. Blumer betul-betul mengkritik kecenderungan dalam ilmu perilaku manusia untuk menerapkan; Kuhn membangun suatu titik ke lakukan yang terbaru! Sebagai hasilnya pekerjaan Kuhn beralih lebih ke arah analisa mikroskopik dibanding mengerjakan pendekatan Chicago yang tradisional.
       Seperti Mead dan Blumer, Kuhn mendiskusikan pentingnya object di dalam dunia aktor. Obyek dapat manapun mengarah pada kenyataan orang: suatu hal, suatu andatu, suatu peristiwa, atau suatu kondisi. Satu-Satunya kebutuhan untuk sesuatu yang untuk menjadi suatu obyek adalah bahwa orang menyebut itu, menghadirkannya secara simbolik. Kenyataan untuk orang-orang menjadi keseluruhan dari object sosial mereka, yang mana selalu secara sosial digambarkan.
       Suatu konsep detik bagi Kuhn menjadi rencana kegiatan, seseorang pola total teladan perilaku ke arah obyek ditentukan. Sikap, atau statemen lisan yang menandai adanya nilai-nilai ke arah tindakan yang mana akan menjadi diarahkan, dan memandu rencana itu. Sebab sikap adalah statemen lisan, mereka juga dapat mengamati dan mengukur. Apabila seseorang akan ke perguruan tinggi melibatkan suatu rencana kegiatan, yang benar-benar rencana besar, memandu dengan satu set sikap tentang apa yang anda ingin lepas dari perguruan tinggi. anda andangkin dipandu, untuk sebagai contoh, dengan sikap positif ke arah uang, dan sukes pribadi.
       Sepertiga konsep bagi Kuhn menjadi wawancara lainnya, seseorang yang telah seara khusus berpengaruh di dalam hidup satu orang. Istilah ini penting khususnya yang bersinonim lainnya, seperti digunakan oleh Mead. Individu ini memiliki empat kualitas. Pertama, mereka adalah orang-orang untuk siapa individu secara emosional dan secara psikologis dilakukan. Ke dua, mereka adalah menyediakan orang dengan kosa kata umum, pusat konsep, dan kategori. Ketiga, mereka menyediakan individu dengan pembedaan dasar antara orang lain dan diri pribadi, mencakup yang merasa peranperbedaan. Keempat, orang lain melakukan komunikasi wawancara yang secara terus menerus menopang self-concept individu itu. wawancara Orang lain andangkin adalah di dalam saat ini atau masa lampau; mereka andangkin menyajikan atau absen. gagasan Yang penting di belakang konsep adalah bahwa individu ingin bertemu dunia melalui interaksi dengan orang yang lain tertentu yang sudah menyentuh hidup seseorang di dalam jalan penting.

       Akhirnya, kita datang ke consep Kuhn yang paling utama tentang diri. Metoda Kuhns meliputi teori di sekitar diri, dan itu ada di area Ini yang Kuhn paling secara dramatis meluas ke interactionis simbolik. Self-Conception, rencana kegiatan individu ke arah diri, terdiri dari identitas seseorang, kebencian dan minat, tujuan, ideologi, dan evaluasi diri. Seperti (itu) self-conceptions adalah sikap penjangkaran, karena mereka bertindak sebagai kerangka acuan seseorang yang paling umum untuk menghakimi object lain. Semua rencana kegiatan yang berikut bersumber terutama semata dari self-concept itu.

       Kuhn mengenalkan untuk suatu teknik mengenal sebagai Twenty Statemen Self-Attitudes ( TST) untuk mengukur berbagai aspek menyangkut diri. Jika anda akan mengambil TST yang anda akan dihadapkan dengan duapuluh ruang kosong yang didahului oleh instruksi sederhana sebagai berikut :
Jawablah seolah-olah anda sedang memberi jawaban untuk dirimu sendiri, tidak untuk orang lain. Jawablah agar mereka dapat masuk dalam pikiranmu. Jangan cemas tentang logika atau " arti penting." Bersama-Sama wajar dengan cepat, karena waktu terbatas. Ada beberapa cara untuk meneliti tanggapan dari test ini, masing-masing pencabangan adalah suatu aspec yang berbeda menyangkut diri itu sendiri. Dua hal tersebut adalah variabel pemesanan dan variabel tempat.
       Variabel pemesanan menjadi sanak keluarga itu salience identifikasi adalah individu memiliki. Adalah tampak di dalam statemen mendaftar pada atas format itu. Sebagai contoh, jika daftar orang " Baptis" sebagian besar lebih tinggi dibanding “ menjadi ayah”, peneliti boleh menyimpulkan bahwa orang yang mengidentifikasi lebih siap dengan keanggotaan religius dibanding dengan keanggotaan keluarga. Variabel Tempat menjadi tingkat dimana pokok materi umumnya cenderung ke sama dengan consensual yang menggolongkan seperti " Amerika" dibanding/bukannya idiosyncratic, kualitas hubungan seperti " kuat"

Di dalam membuat nilai dari test sikap diri, anda dapat menempatkan statemen di dalam salah satu dari dua kategori. Suatu statemen adalah consensual jika itu terdiri dari suatu identifikasi kelas atau kelompok terpisah, seperti siswa, perempuan, suami, Baptis, dari Chicago, pramahasiswa kedokteran siswa putri, anak paling tua, siswa rancang-bangun. Statemen lain bukanlah uraian dari yang biasanya disetujui pada kategori diatas. Contoh sub consensual tanggapan bahagia, bosan, cantik, yang baik siswa, yang terlalu berat/lebat, istri yang baik, menarik. Banyaknya statemen di dalam consensual kelompok menjadi focus penilaian individu.
      
Teori strukturasi       Secara umum, interaksionisme simbolik memusatkan pada proses mikro, atau interaksi aktual yang terjadi antara orang per- orang melalui level kemungkinan terendah. Mereka membuat kasus yang mana proses mikro menciptakan struktur makro pada masyarakat, tetapi mereka tidak memerinci ide ini dengan baik, dan secara umum mereka juga mengakui dampakmyang berlawanan. Pengaruh struktur makro pada proses mikro. Teori strukturasi didesain sebagai penjelasan yang lebih komplit dari hubungan mikro dan makro.
       Teori strukturasi, menurut gagasan sosiologis, Anthony gidden dan pengikutnya adalah teori umum dari aksi sosial.Theori ini menyatakan bahwa manusia adalah proses mengambilkan dan meniru beragam sistem sosial. Komunikator bertindak secara strategis berdasarkan pada peraturan untuk meraih tujuan mereka dan oleh sebab itu menciptakan struktur yang kembali untuk mempengaruhi aksi selanjutnya. Struktur mirip dengan hubungan pengharapan, peran grup dan norma-norma, jaringan komunikasi dan institusi kemasyarakatan keduanya berpengaruh dan dipengaruhi oleh aksi sosial. Struktur ini menyediakan setiap individu-individu denagn peraturan yang membimbing tindakan mereka, tetapi tindakan bertujuan membuat peraturan baru dan meniru pendahulunya. Ellis menyebut interaksi dan struktur sosial sebagai “braided entities”.
       Gidden menyelesaikan debat antara kedua oarang yang menyatakan / berpegang bahwa tindakan manusia disebabkan oleh dorongan luar/eksternal dengan mereka yang menganjurkan tentang tujuan dari tindakan manusia. Gidden mengklaim kedua sisi tersebut dalam perselisihan ini adalah benar sebab kehidupan sosial adalah dua sisi mata uang. Kita melakukan sebuah tindakan secara sengaja untuk menyelesaikan tujuan-tujuan kita, pada saat yang sama, tindakan kita memiliki “ unintended consequenses” (konsekuensi yang tidak disengaja) dari penetapan struktur yang berdampak pada tindakan kita selanjutnya. Ketika kita melakukan suatu hal tertentu untuk mencapai tujuan kita, kita tidak sadar akan dampak-dampak dari tindakan dan konsekuensi strukturnya.
       Gidden yakin bahwa strukturasi selalu meliputi 3 modalitas utama atau dimensi. Di antaranya adalah (1) penterjemahan (interpretasi), apa yang harus dilakukan (moralitas), dan bagaimana mendapatkan sesuatu dengan tepat (kekuasaan). Dalam hal ini, tindakan kita memperkuat dari struktur pemahaman, moralitas, dan tindakan.
       Bayangkan sebuah kelompok yang telah dibentuk struktur dimana setiap orang di dalamnya diharapkan untuk berbicara dalam beragam topik. Seperti semua strukturasi, hal ini tidaklah direncanakan tetapi andancul sebagai konsekuensi yang tidak bermaksud dari tindakan yang bermaksud baik dari anggota pada sisa waktu. Pada skenario ini, norma interpretasi kadang muncul, yang mana sebuah grup memaknai sebagaimana layaknya seorang yang egaliter. Hal ini dianggap pantas unutk setiap orang untuk mengarahkan setiap asu dan tidak meninggalkan ketenangan pada satu subyekpun. Dan kekuatan/kekuasaan diakui untuk berbicara, sebagaimana individu menggunakan bahasa unutk saling mempengaruhi.
       Pada praktek yang sesungguhnya, tingkah laku anda kadang-kadang dipengaruhi oleh struktur tinggal seperti peran “merapikan” atau menonjolkan norma yang digunakan sebagi contoh di atas. Agaknya, tindakan anda dipengaruhi oleh dan mempengaruhi beberapa elemen struktur yang berbeda pada waktu yang sama. Dua hal bisa terjadi. Yang pertama, satu struktur bisa menengahi, yang lain, sebaliknya, produksi dari satu struktur dilengkapi dengan memproduksi yang lain. Sebagai contoh, kelompok kadang mungkin menghasilakn jaringan komunikasi. Tetapi hal ini dilakukan dengan menetapkan peran individu. Di sini, peran struktur memerlukan penegakan struktur yang lain yang tidak dapat ditentukan mana yang pertama. Hal ini adalah permasalahan paradoks klasik. Pertentangan memicu konflik, dan melalui, dialek dan ketegangan antara elemen yang bertentangan, perubahan sistem dihasilkan.

Kelompok dan Komunikasi Kelompok    Berhubung teori inteksionisme simbolik merupakan kajian sosial, maka perlu juga dibahas tentang kelompok dan komunikasi kelompok.
    Menurut Onong Echja Efendi [2003: 71], dalam ilmu sosial apakah itu psikologi, atau sosiologi, yang disebut kelompok [group] bukan sejumlah orang yang berkelompok atau berkerumun bersama-sama di suatu tempat, misalnya sejumlah orang di alun-alun yang secara bersama-sama sedang mendengarkan pidato tukang obat yang sedang mempromosikan dagangannya, atau ibu-ibu di pasar yang secara bersama-sama sedang mengerumuni seorang pedagang sayur.
    Apakah sejumlah orang yang secara bersama-sama berada di suatu tempat itu kelompok atau bukan, harus dilihat dari situasinya. Pada contoh di atas, mereka yang sedang mendengarkan bualan tukang obat dan ibu-ibu yang tengah menawar sayur, adalah orang-orang dalam situasi kebersamaan [togetherness situation]. Beradanya mereka di situ secara bersama-sama adalah kebetulan saja, karena tertarik perhatiannya kepada sesuatu. Mereka tidak saling kenal. Kalaupun terjadi interaksi atau interkomunikasi, terjadinya hanya saat itu saja; sesudah itu tidap pernah terjadi lagi interaksi dan interkomunikasi.
       Anggota-anggota kelompok bekerja sama untuk mencapai dua tujuan: a. melaksanakan tugas kelompok, dan b. memelihara moral anggota-anggotanya. Tujuan pertama diukur dari hasil kerja kelompok-disebut prestasi (performance) tujuan kedua diketahui dari tingkat kepuasan (satisfacation). Jadi, bila kelompok dimaksudkan untuk saling berbagi informasi (misalnya kelompok belajar), maka keefektifannya dapat dilihat dari beberapa banyak informasi yang diperoleh anggota kelompok dan sejauh mana anggota dapat memuaskan kebutuhannya dalam kegiatan kelompok.
       Untuk itu faktor-faktor keefektifan kelompok dapat dilacak pada karakteristik kelompok, yaitu:
1. ukuran kelompok.
2. jaringan komunikasi.
3. kohesi kelompok.
4. kepemimpinan (Jalaluddin Rakhmat, 1994).
    Lain dengan situasi kelompok [group situation]. Dalam situasi kelompok terdapat hubungan psikologis. Dengan demikian, orang-orang yang terikat oleh hubungan psikologis itu tidak selalu berada secara bersama-sama di suatu tempat, mereka dapat saja terpisah, tetapi meski terpisah, tetap terikat oleh hubungan psikologis, yang menyebabkan mereka berkumpul bersama secara berulang-ulang, bisa setiap hari. Contohnya adalah mahasiswa, karyawan suatu perusahaan, anggota pengajian, dan seterusnya.
       Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut (Deddy Mulyana, 2005). Kelompok ini misalnya adalah keluarga, kelompok diskusi, kelompok pemecahan masalah, atau suatu komite yang tengah berapat untuk mengambil suatu keputusan. Dalam komunikasi kelompok, juga melibatkan komunikasi antarpribadi. Karena itu kebanyakan teori komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok.
       Komunikasi kelompok adalah komunikasi yang berlangsung antara beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti dalam rapat, pertemuan, konperensi dan sebagainya (Anwar Arifin, 1984). Michael Burgoon (dalam Wiryanto, 2005) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi secara tatap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang mana anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota yang lain secara tepat. Kedua definisi komunikasi kelompok di atas mempunyai kesamaan, yakni adanya komunikasi tatap muka, dan memiliki susunan rencana kerja tertentu umtuk mencapai tujuan kelompok.

Jalaludin Rakhmat membedakan kelompok ini berdasarkan karakteristik komunikasinya, sebagai berikut:
  1. Kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan meluas. Dalam, artinya menembus kepribadian kita yang paling tersembunyi, menyingkap unsur-unsur backstage (perilaku yang kita tampakkan dalam suasana privat saja). Meluas, artinya sedikit sekali kendala yang menentukan rentangan dan cara berkomunikasi. Pada kelompok sekunder komunikasi bersifat dangkal dan terbatas.
  2. Komunikasi pada kelompok primer bersifat personal, sedangkan kelompok sekunder nonpersonal.
  3. Komunikasi kelompok primer lebih menekankan aspek hubungan daripada aspek isi, sedangkan kelompok primer adalah sebaliknya.
  4. Komunikasi kelompok primer cenderung ekspresif, sedangkan kelompok sekunder instrumental.
  5. Komunikasi kelompok primer cenderung informal, sedangkan kelompok sekunder formal.
      
       Onong selanjutnya membagi kelompok menjadi dua jenis, yakni kelompok kecil [small group, micro group] dan kelompok besar [large group, macro group]. Perkataan kecil dan besar dalam pengertian ini bukan saja merujuk pada besar kecilnya jumlah orang yang bersama-sama berkumpul dalam suatu tempat, melainkan faktor psikologis yang mengikat mereka.
    Robert F Bales dalam bukunya yang berjudul "Interaction Process Analysis" mendefinisikan kelompok keci sebagai "sejumlah orang yang terlibat dalam interaksi satu sama lain dalam suatu pertemuan yang bersifat tatap muka [face-to-face meeting], di mana setiap anggotanya mendapat kesan atau penglihatan antara satu sama lainnya yang cukup kentara, sehingga dia bai pada saat timbul pertanyaan maupun sesudahnya dapat memberikan tanggapan kepada masing-masing sebagai perorangan".
    Situasi dalam kelompok besar, misalnya sekumpulan orang banyak di sebuah lapangan yang sedang mendengarkan pidato. Mereka yang berkumpul di lapangan tadi bersifat "crowd-oriented". Ditinjau dari ilmu komunikasi, kontak pribadi antara orang yang sedang pidato sebagai komunikator dan khalayak sebagai komunikan jauh lebih kurang dibandingkan dengan dalam situasi kelompok kecil. Anggota kelompok besar apabila memberikan tanggapan, sifatnya emosional. Nah, biasanya kalau orang berbicara mengenai kelompok, maka yang dimaksud adalah kelompok kecil yang mempunyai dinamika tersendiri.
       Theodore Newcomb (1930) melahirkan istilah kelompok keanggotaan (membership group) dan kelompok rujukan (reference group). Kelompok keanggotaan adalah kelompok yang anggota-anggotanya secara administratif dan fisik menjadi anggota kelompok itu. Sedangkan kelompok rujukan adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur (standard) untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap.
       Menurut teori, kelompok rujukan mempunyai tiga fungsi: fungsi komparatif, fungsi normatif, dan fungsi perspektif. Seseorang bisa jadi menggunakan Islam sebagai kelompok rujukan, untuk mengukur dan menilai keadaan dan status (fungsi komparatif. Islam juga memberikan kepadanya norma-norma dan sejumlah sikap yang harus ia miliki-kerangka rujukan untuk membimbing perilaku, sekaligus menunjukkan apa yang harus dicapai (fungsi normatif). Selain itu, Islam juga memberikan kepadanya cara memandang dunia ini-cara mendefinisikan situasi, mengorganisasikan pengalaman, dan memberikan makna pada berbagai objek, peristiwa, dan orang yang saya temui (fungsi perspektif). Namun Islam bukan satu-satunya kelompok rujukan yang ia miliki. Dalam bidang ilmu, karena ia lulusan komunikasi misalnya, maka Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) adalah juga  kelompok rujukan yang ia miliki, di samping menjadi kelompok keanggotaan. Apapun kelompok rujukan itu, perilakunya sangat dipengaruhi, termasuk perilaku dalam berkomunikasi.
    Haiman dalam bukunya yang berjudul "Group leadership and democratic action" mengatakan bahwa seseorang tidak akan mengerti dinamika kelompok tanpa mengerti psikologi individual, karena semua perilaku kelompok adalah perilaku perorangan dalam kelompok –bertingkah berbeda-beda, tetapi tingkahnya itu berdasarkan "own steam"nya sendiri.
    Pada kenyataannya, jika kita ingin membahas kelompok, kita harus memahami bukan hanya individunya, tapi juga proses saling pengaruh-mempengaruhi. Ini membawa kita kepada masalah interaksi sosial.

Interaksi sosial sendiri paling tidak mempunyai dua syarat, yakni:
1. Adanya kontak sosial

Kata kontak dalam Bahasa Inggrisnya “contact”, dari bahasa lain “con” atau “cum” yang artinya bersama-sama dan “tangere” yang artinya menyentuh . Jadi kontak berarti sama-sama menyentuh.Kontak sosial ini tidak selalu melalui interaksi atau hubungan fisik, karena orang dapat melakuan kontak sosial tidak dengan menyentuh, misalnya menggunakan HP, telepon dsb. Sumber informasi yang mendasari interaksi misalnya warna kulit, pakaian, usia, jenis kelamin, penampilan fisik dan bentuk tubuh

Kontak sosial memiliki memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
1. Kontak sosial bisa bersifat positif dan bisa negatif. Kalau kontak sosial mengarah pada kerjasama berarti positif, kalau mengarah pada suatu pertentangan atau konflik berarti negative.
2. Kontak sosial dapat bersifat primer dan bersifat skunder. Kontak sosial primer terjadi apa bila peserta interaksi bertemu muka secara langsung. Misanya kontak antara guru dengan murid dsb. Kalau kontak skunder terjadi apabila interaksi berlangsung melalui perantara. Missal percakapan melalui telepon, HP dsb.

2. Komunikasi
       Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi dari satu pihak kepihak yang lain dalam rangka mencapai tujuan bersama.

Ada lima unsur pokok dalam komunikasi yaitu
  1. Kmunikator yaitu orang yang menyampaikan informasi atau pesan atau perasaan atau pemikiran pada pihak lain.
  2. Komunikan yaitu orang atau sekelompok orang yang dikirimi pesan, pikiran, informasi.
  3. Pesan yaitu sesuatu yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan.
  4. Media yaitu alat untuk menyampaiakn pesan
  5. Efek/feed back yaitu tanggapan atau perubahan yang diharapkan terjadi pada komunikan setelah mendapat pesan dari komunikator.

Ada tiga tahapan penting dalam komunikasi
1. Encoding
. Pada tahap ini gagssaan atau program yang akan dikomunikasikan diwujudkan dalam kalimat atau gambar . dalam tahap ini komunikator harus memilih kata atau istilah ,kalimat dan gambar yang mudah dipahami oleh komunikan. Komunikator harus menghindari penggunaan kode-kode yang membingungkan komunikan.
2. Penyampaian. Pada tahap ini istilah atau gagasan yang telah diwujudkan dalam bentuk kalimat dan gambar disampaiakan . Penyampaian dapat berupa lisan dan dapat berupa tulisan atau gabungan dari duanya.
3. Decoding Pada tahap ini dilakukan proses mencerna fdan memahami kalimat serta gambar yang diterima menuruy pengalaman yang dimiliki.


Ada beberapa factor yang mendorong terjadinya interaksi sosial ;
1. Imitasi yaitu tindakan meniru orang lain
2. Sugesti
.
Sugesti ini berlangsung apabila seseorang memberikan pandangan atau sikap yang dianutnya, lalu diterima oleh orang lain. Biasanya sugesti muncul ketika sipenerima sedang dalam kondisi yang tidak netral sehingga tidak dapat bewrfikir rasional.

Biasanya sugesti berasal dari orang-orang sebagai berikut:
  1. Orang yang berwibawa, karismatik dan punya pengaruh terhadap yang disugesti, misalnya orang tua ulama dsb.
  2. Orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada yang disugesti.
  3. Kelompok mayoritas terhadap minoritas.
  4. Reklame atau iklan media masa.
 
3. Identifikasi yaitu merupakan kecenderungan atau keinginan seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain (meniru secara keseluruhan).
4. Simpati yaitu merupakan suatu proses dimana seorang merasa tertarik kepada pihak lain. Melalui proses simpati orang merasa dirinya seolah-olah dirinya berasa dalam keadaan orang lain.
5. Empati yaitu merupakan simpati yang menfdalam yang dapat mempengaruhi kejiwaan dan fisik seseorang.


    Untuk melakukan pendekatan kepada masalah interaksi dalam kelompok, kita perlu membagi perhatian kita kepada dua tahap aktivitas.
1. Tahap gagasan [level of ideas]
Suatu bidang di mana anggota-anggota kelompok berusaha untuk berkomunikasi satu sama lain dengan tujuan memecahkan masalah, untuk mana kelompok telah terbentuk untuk memecahkannya.
2. Tahap emosi sosial [sosial emotional level] Suatu bidang di mana anggota-anggota kelompok berusaha untuk saling menenggang satu sama lain dengan tujuan untuk membina pertautan antarpribadi [interpersonal relationship] yang membuat mereka senang dan bahagia.

Berbagai ahli menggunakan macam-macam istilah untuk membedakan kedua bidang tersebut. Tahap pertama disebut "bidang tugas" [task area], dan jika aktivitas kelompok yang menjadi fokus, maka para anggota dikatakan "content oriented" atau "problem oriented". Tahap kedua dinamakan "bidang emosional sosial". Para anggota kelompok yang terlibat dalam kegiatan ini adalah "process oriented".
    Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan seorang komunikator dalam menghadapi kelompok, ialah bahwa setiap kelompok mempunyai norma-norma sendiri. Norma adalah nilai ukuran hidup yang menentukan mana yang tidak boleh dan mana yang boleh dilakukan. Norma mempunyai fungsi ganda, yaitu mengikat rasa persatuan dan memperteguh rasa persatuan.
    Norma-norma tersebut menjadi sumber dasar hidup para anggota kelompok. Ketaatan para anggota kelompok terhadap norma-norma itu menentukan ketaatan mereka terhadap kelompoknya. Semakin mendalam "sense of belongin" terhadap kelompok, semakin patuh ia pada norma kelompoknya, apalagi ia memiliki "in-group-feeling" yang kuat.
    Pengaruh norma kelompok besar sekali terhadap cara berpikir, cara bertingkah laku, dan cara menanggapi suatu pesan. Hal ini mudah kita pahami, oleh karena kita mendapat pendidikan pertama-tama dari primary group kita, yaitu keluarga. Nilai-nilai hidup kita sebagian besar kita pelajari dari kehidupan dalam kelompok. apabila sebuah pesan komunikasi akan mempengaruhi atau mengubah tingkah laku atau sikap kita, maka kita mengadakan penjagaan apakah norma kelompok dapat menyetujui perubahan tersebut. Jika norma kelompok ternyata tidak cocok dengan pengaruh komunikasi terhadap kita, maka kita tidak akan begitu bergairah untuk membiarkan diri dipengaruhi oleh komunikasi tersebut. Hal ini berlaku selama kita bersikap loyal terhadap kelompok.
    Faktor lain yang penting peranannya di samping nilai dan norma kelompok yang mempengaruhi tanggapan pendapat serta sikap seseorang adalah faktor pengalaman hidup seseorang dalam ikatan kelompok. Pengalaman yang berlangsung dari hari ke hari pasti, untuk kemudian mewujudkan suatu predisposisi. Predisposisi adalah pembawaan seseorang yang mempunyai pola tertentu dari seseorang menganai pribadinya, kebiasaannya, sikapnya, tingkah-lakunya dan lain sebagainya. Dengan demikian, maka seseorang tidak pernah "kosong", oleh karena ia sudah mempunyai pola setting terentu.
    Schramm mengibaratkan terbentuknya predisposisi tersebut dengan proses terbentuknya stalagmite dalam gua. Stalagmite terwujud oleh inti kalkarium yang jatuh bersama air, setitik demi setitik dari langit-langit gua. Tiap titik air hanyalah meninggalkan kalkarium yang sedemikian kecilnya sehingga tidak dapat dilihat oleh mata manusia. Tapi tiap titik air yang tiap hari jatuh itu, lama kelamaan akhirnya mampu membentuk suatu bag stalagmite dengan wujud dan bentuk tertentu.
    Demikianlah Schramm, dengan lingkungan sosial kita yang dari hari ke hari membentuk predisposisi kita, titik demi titik meninggalkan bekas yang masing-masing memperkuat pola yang sudah ada.


C. ISTILAH POKOK DALAM TEORI SIMBOLIK INTERAKSIONISME1. Identities [identitas], yakni pamaknaan diri dalam suatu pengambilan peran.
2. Language [bahasa], yakni suatu sistem simbol yang digunakan bersama diantara anggota kelompok sosial. Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi dan representasi.
Karenanya bahasa memiliki empat komponen, yakni subjek, objek, simbol dan referent yang berkorelas sebagai berikut:

* Simbol adalah rangkaian bunyi yang menunjuk sesuatu.
* Subjek adalah pengguna dari simbol.
* Objek adalah sesuatu yang ditunjuk oleh simbol.
* Referent adalah penghubung dari simbol, subjek, dan objek.

3. Looking glass self [cara melihat diri], yakni gambaran mental sebagai hasil dari mengambil peran orang lain.
4. Meaning [makna], yakni tujuan dan atribut bagi sesuatu. Meaning ditentukan oleh bagaimana kita merespon dan menggunakannya.
5. Mind [pikiran], yakni proses mental yang terdiri dari self, interaksi, dan refleksi, berdasarkan simbol sosial yang didapat.
6. Role-taking [bermain peran], yakni kemampuan untuk melihat dirii seseorang sebagai objek, sehingga diperoleh gambaran bagaimana orang lain melihat dia.
7. Self-concept [konsep diri], yakni gambaran yang kita punya tentang siapa dan bagaimana diri kita yang dibentuk sejak kecil melalui interaksi dengan orang lain. Konsep diri bukanlah sesuatu yang tetap. Misalnya jika seorang anak dicap sebagi orang yang bodoh oleh gurunya maka begitulah konsep dirinya berkembang, kemudian apabila dikemudian hari guru dan teman-temannya mengatakan bahwa ia orang yang pintar, maka konsep dirinya pun akan berubah.
8. Self-fulfilling prophecy [harapan untuk pemenuhan diri], yakni tendensii bagi ekpektasi untuk memunculkan respon bagi orang lain yang diantisipasi oleh kita. Masing-masing dari kita memberi pengaruh bagii orang lain dalam hal bagaimana mereka melihat diri mereka.


D. PEMIKIRAN GEORGE HERBERT MEAD    Ia lahir di Massacusettes pada tahun 1863, yakni pada era perang sipil. Ayahnya merupakan seorang menteri, namun kakeknya merupakan seorang petani miskin. Mead menempuh kuliah di Oberlin College. Ide Mead tentang teori simbolik interaksionism sangat sedikit yang dibukukan, Blumer lah yang banyak mempublikasikan pemikiran Mead.
    Mead dianggap sebagai bapak interaksionisme simbolik, karena pemikirannya yang luar biasa. Dia mengatakan bahwa pikiran manusia mengartikan dan menafsirkan benda-benda dan peristiwa yang dialaminya, menerangkan asal muasalnya dan meramalkannya.
    Pikiran manusia menerobos dunia luar, seolah-olah mengenalnya dari balik penampilannya. Ia juga menerobos dirinya sendiri dan membuat hidupnya sendiri menjadi objek pengenalannya yang disebut self yang dapat kita terjemahkan menjadi aku atau diri. Self dikatakan Mead memiliki ciri-ciri dan status tertentu. Manusia yang ditanya siapa dia, akan menjawab bahwa ia bernama anu, beragama anu, berstatus sosial anu, dan lain sebagainya.
    Cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri berkaitan erat dengan masyarakatnya. Mead melihat pikiran dan diri menjadi bagin dari perilaku manusia, yaitu bagian interaksinya dengan dengan orang lain. Interaksi itu membuat dia mengenal dunia dan dia sendiri. Mead mengatakan bahwa pikiran [mind] dan diri ]self] berasal dari masyarakat [society] atau proses interaksi.
    Bagi Mead tidak ada pikiran yang lepas bebas dari situasi sosial. Berpikir adalah hasil internalisasi proses interaksi dengan orang lain. Berlainan dengan reaksi binatang yang bersifat naluriah dan langsung, perilaku manusia diawali oleh proses pengertian dan penafsiran.
    Sehubungan dengan proses-proses tersebut yang mengawali perilaku manusia, maka konsep role taking [pengambilan peran] amat penting. Sebelum seseorang bertindak, ia membayangkan dirinya dalam posisi orang laindan mencoba untuk memahami apa yang diharapkan orang itu. Hanya dengan menyerasikan diri dengan harapan-harapan orang lain, maka interksi menjadi mungkin. Semakin mampu seseorang mengambil alih atau membatinkan peran-peran sosial, semakin terbentuk identitas atau kediriannya.
    Pada akhir proses ini  orang bersangkutan memiliki suatu gambaran tentang generalized others atau gambaran orang lain yang dikumpulkan dalam dirinya. Dalam diri seseorang tidak lagi hanya ada gambaran dirinya sendiri, tapi merupakan kumpulan dari gambaran ulama, polisi, suami dan orang lain dimana dia melakukan interaksi.
     Ide pokok pemikiran Mead terletak pada tiga konsepsi, yakni mind, self dan society. Ketiga konsepsi tersebut tidak terlepas dari disiplin yang ia geluti, yakni psikologi sosial. Menurut Mead psikologi sosial adalah “studii yang mempelajari aktivitas atau tingkah laku dari individu dalam kaitannya dengan masyarakat”. Tingkah laku sosial dapat dipahami melalui tingkah laku lingkungan sosial secara keseluruhan dimana ia menjadi anggota kelompok sosial tersebut.
       Psikologi sosial sebelum Mead menitik beratkan pada tingkah laku individu yang kemudian membentuk masyarkat, sedangkan psikologi sosial menurut Mead adalah sebaliknya, yakni tingkah laku kelompok sosial yang kemudian membentuk tingkah laku individu, paling tidak dalam bentuk pola komunikasi. Mead berargumentasi bahwa tidak ada individu yang bisa memisahkn diri dari kelompok sosialnya. Jika ia terpisah maka tidak ada kesadaran tentang diri, dan karenanya tidak ada komunikasi.
       Dalam tahap ini, masyarakat mesti dipahami sebagai struktur sosial yang selalui berproses melalui tindakan komunikasi, yang secara mutual berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masing-masing.
       Mead bahkan melihat gesture sebagai bagian dari mekanisme yang dibentuk oleh struktur. Tapi ia membedakan antar nonsignificant gesture dan significant gesture. Yang pertama merupakan karakter yang dilakukan oleh hewan, yakni tingkah laku yang tidak terstruktur. Sedangkan yang kedua merupakan karekateristik dari manusia yang merupakan hasil dari konstruks sosial.
       Hal lain yang membedakan manusia dengan hewan adalah kemampuan manusia menggunakan dan mengembangkan bahasa. Asumsi Mead tentang bahasa sangat sederhana, yakni apabila seseorang memiliki kesamaan respon dengan orang lain tentang suatu simbol, maka ketika itulah sudah terjadi pertukaran makna. Simbol tidak lagi menjadi sesuatu yang bersifat private, dan ketika itulah terjadi bahasa.


Konsep Mead tentang “Mind”    Mead mendefinisikan mind sebagai fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang dalam proses sosial sebagai hasil dari interaksi. Mind dalam hal ini mirip dengan simbol, yakni sebagai hasil dari interaksi sosial. Hanya, mind terbentuk setelah terjadinya percakapan diri [self conversation], yakni ketika seseorang melakukan percakapan diri yang juga disebut sebagai berpikir. Karenanya bagi Mead, berpikir tidak mungkin terjadi jika tidak menggunakan bahasa.
    Konsepsi mind lebih merupakan proses daripada sebuah produk. Hal ini berarti bahwa kesadaran bukanlah hasil tangkapan dari luar, melainkan secara aktif selalu berubah dan berkembang. Mead mengatakanbahwa “consciousness [mind] is not given, it is emergent”. Kesadaran [mind] tidak dikasih, tapi dicari.
    Dalam kaitan ini, Mead mengelaborasi relasi bahasa dan mind. Menurutnya mind membantu bahasa meningkatkan kapasitas:
a. Menentukan objek dalam lingkungan sosial, melalui pembentukan simbol yang signifikan.
b. Menggunakan simbol sebagai stimulus untuk menghasilkan respon dari orang lain.
c. Membaca dan menginterpretasikan gesture orang lain dan menggunakan stimulus ini sebagai respon.
d. Menyediakan imajinasi alternatif dari stimulu dan respon dari lingkungan.

Konsep Mead tentang “Self”    Self menurut Mead adalah proses yang tumbuh dalam keseharian sosial yang membentuk identitas diri. Perkembangan self tergantung pada bagaimana seseorang melakukan role taking [pengambilan peran] dari orang lain. Dalam role taking kita mengimajinasikan tingkah laku kita dari sudut pandang orang lain. Proses role taking sendiri bagi seorang anak kecil dilakukan melalui empat tahap sebagaimana telah dijelaskan di atas.
       Esensi self bagi Mead adalah reflexivity, yakni bagaimana kita merenung ulang relasi dengan orang lain untuk kemudian memunculkan adopsi nilai dari orang lain.
       Ada dua segi dari self, yang masing-masing melakukn fungsi penting dalam kehidupan manusia, yakni “I” dan “me”. “I” yang dapat diterjemahkan sebagai “aku” merupakan bagian yang unik, impulsif, spontan, tidak terorganisasi, tidak bertujuan, dan tidak dapat diramal dari seseorang. Sedangkan “me” yang diterjemahkan dengan “daku” adalah generalized others, yang merupakan fungsi bimbingan dan panduan. Me merupakan prilaku yang secara sosial diterima dan diadaptasi.
    Baik “I” maupun “me” keduanya diperlukan untuk melakukan hubungan sosial. “I” merupakan rumusan subjektif tentang diri ketika berhadapan dengan orang lain, sedangkan “me” merupakan serapan dari orang lain, yang melalui proses interanalisasi kemudian diadopsi untuk membentuk “I” selanjutnya. Sehingga dengan demikian dalam setiap interaksi akan terjadi perubahan “I” dan “me” secara dinamis. Dalam konteks komunikasi, perubahan tersebut menimbulkan optimisme, yakni bagaimanapun komunikasi akan menimbulkan perubahan. Soal besar kecilnya perubahan dan seperti apa perubahan yang diinginkan itu tergantung pada strategi dan efektivitas komunikasi yang dilakukan.

Konsep Mead tentang “Society”    Soceity menurut Mead adalah kumpulan self yang melakukan interaksi dalam lingkungan yang lebih luas yang berupa hubungan personal, kelompok intim, dan komunitas. Institusi society karenanya terdiri dari respon yang sama.
    Society dipelihara oleh kemampuan individu untuk melakukan role-taking dan generalized others.


E. PEMIKIRAN GEORGE HERBERT BLUMER    Blumer merupakan profesor di Universitas California. Blumer memulai pemikirannya tentang teori ini dengan tiga dasar pemikiran sebagai berikut:
a. Manusia berprilaku terhadap hal-hal berdasarkan makna yang dimiliki hal-hal tersebut baginya.
b. Makna hal-hal tersebut berasal dari atau muncul dari interaksi sosial yang pernah dilakukan dengan orang lain.
c. Makna-makna itu dikelola dalam dan diubah melalui proses penafsiran yang dipergunakan oleh oarng yang berikatan dengan hal-hal yang dijumpai.

Konsepsi Blumer Tentang “Meaning”, “Language” dan “Society”
a. Meaning, merupakan dasar bagi kita untuk bertindak terhadap segala sesuatu.
b. Language, makna yang tumbuh dalam interaksi sosial menggunakan bahasa. Penamaan simbolik merupakan dasar bagi kelompok sosial. Perluasan pengetahuan pada hakikatnya merupakan perluasan penamaan.
c. Thought, atau disebut juga “minding” merupakan interpretasi individu atas simbol yang dimodifikasi melalui proses berpikir seseorang. Mindng merupakan refleksi sejenak untuk berpikir ulang. Thought merupakan percakapan mental yang membutuhkan role-taking dengan mengambil sudut pandang orang lain.
       Menurut Blumer konsepsi diri berkembang melalui interaksi simbolik melalui apa yang disebut looking-glass-self, yakni gambaran mental tentang self yang dihasilkan dari mengambil peran bagi orang lain. Tanpa bahasa kita tidak dapat mengembangkan konsep diri.
       Selanjutnya Blumer mengatakan bahwa dalam proses sosial yang berlaku bukanlah “you become whatever you tell yourself your are” tetapi “you become whatever those around you tell you your are”. Apabila diterjemahkan Anda bukan menjadi “Anda menjadi apapun apa yang Anda katakan tentang diri Anda”, tapi “Anda menjadi apapun yang orang lain di sekitar Anda katakan mengenai siapa Anda”. Sebagai contoh, kita tidak bisa mengatakan bahwa kita adalah orang baik, sementara orang disekitar kita mengatakan bahwa kita adalah orang jahat. Dalam teori ini seseorang dikatakan baik atau dikatakan jahat tergantung dari orang di sekitar kita.

Konsepsi Blumer Tentang Teori Simbolik Interaksionisme
1. Konsep diri
    Manusia bukan semata-mata organisme yang bergerak di bawah pengaruh perangsang-perangsang, baik dari dalam maupun dari luar, melainkan organisme yang sadar akan dirinya [an organism having a self].
    Oleh karena ia seorang diri, maka ia mampu memandang dirinya sebagai objek pikirannya sendiri dan berinteraksi dengan dirinya sendiri. Ia mengarahkan dirinya kepada berbagai objek, termasuk dirinya sendiri, berunding dan berwawancara dengan dirinya sendiri. Ia mempermasalahkan, mempertimbangkan, menguraikan, dan menilai hal-hal tertentu yang telah ditarik ke dalam lapangan kesadarannya, dan akhirnya ia merencanakan dan mengorganisasikan perilakunya.
    Antara perangsang dengan perilakunya tersisiplah proses interaksi dengan diri sendiri tadi. Inilah kekhasan manusia.

2. Konsep kegiatan

    Oleh karena perilaku manusia dibentuk dengan proses interaksi dengan diri sendiri, maka kegiatannya itu berlainan sama sekali dengan kegiatan makhluk-makhluk lain.
    Manusia menghadapkan dirinya dengan berbagai hal, seperti tujuan, perasaan, kebutuhan, perbuatan, dan harapan serta bantuan orang lain, citra dirinya, cita-citanya, dan lain sebagainya. Maka, ia merancang kegiatannya yang tidak semata-mata sebagai reaksi biologis terhadap kebutuhannya, norma kelompoknya, atau situasinya, melainkan merupakan konstruksinya. Adalah manusia sendiri yang menjadi konstruktor perilakunya.

3. Konsep objek
    Manusia hidup di tengah-tengah objek. Objek meliputi segala sesuatu yang menjadi sasaran perhatian manusia. objek bisa bersifat konkrit seperti kursi, meja, dan seterusnya, dan dapat pula bersifat abstrak seperti kebebasan. Bisa juga pasti seperti golongan darah atau agak kabur seperti filsafat.
    Inti hakikat objek tadi tidak ditentukan oleh ciri-cirinya, melainkan oleh minat seseorang dan makna yang dikenakan kepada objek tersebut. Jadi menurut Blumer, tidak hanya kegiatan atau perbuatan yang harus dilihat sebagai konstruksi, tapi juga objek.

4. Konsep interaksi sosial
       Interaksi Sosial adalah suatu proses hubungan timbale balik yang dilakukan oleh individu dengan individu, antara indivu dengan kelompok, antara kelompok dengan individu, antara kelompok dengan dengan kelompok dalam kehidupan sosial.
       Dalam kamus Bahasa Indonesia Innteraksi didifinisikan sebagai hal saling melalkukan akasi , berhubungan atau saling mempengaruhi. Dengan demikian interaksi adalah hubungan timbale balik (sosial) berupa aksi salaing mempengaruhi antara indeividu dengan individu, antara individu dankelompok dan antara kelompok dengan dengan kelompok.
   Gillin mengartikan bahwa interaksi sosial sebagai hubungan-hubungan sosial dimana yang menyangkut hubungan antarandividu , individu dan kelompok antau antar kelompok. Menurut Charles P. loomis sebuah hubungan bisa disebut interaksi jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. jumlah pelakunya dua orang atau lebih
2. adanya komunikasi antar pelaku dengan menggunakan simbul atau lambing-lambang
3. adanya suatu demensi waktu yang meliputi ,asa lalu, masa kini, dan masa yang akan dating .
4. adanya tujuan yang hendak dicapai.

    Dalam Interaksi terjadi proses pemindahan diri pelaku yang terlibat secara mental ke adalam posisi orang lain. Dengan demikian, mereka mencoba mencari makna yang oleh orang lain diberikan kepada aksinya memungkinkan terjadinya komunikasi datau interaksi.
    Jadi, interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak secara fisik saja, melainkan lambang-lambang yang maknanya perlu dipahami. Dalam interaksi simbolik seseorang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerak orang lain dan bertindak dengan makna yang dikandungnya.
    Blumer mengatakan bahwa orang-orang menimba perbuatan masing-masing secara timbal balik, dalam arti tidak hanya merangkaikan perbuatan orang yang satu dengan perbuatan orang lainnya, melainkan seolah-olah menganyam perbuatan-perbuatan mereka menjadi apa yang disebut sebagai transaksi, dalam arti kata perbuatan-perbuatan yang berasal dari masing-masing pihak itu diserasikan, sehingga membentuk suatu aksi bersama yang menjembatani mereka.

5. Konsep aksi bersama
    Istilah aksi bersama sebagai terjemahan dari “joint action” jadi berarti kegiatan kolektif yang timbul dari penyesuaian dan penyerasian perbuatan orang-orang satu sama lain. Blumer memberikan contoh; transaksi dagang, makan bersama keluarga, upacara pernikahan, diskusi, sidang pengadilan, peperangan dan sebagainya.
    Analisis aksi bersama ini menunjukkan bahwa hakikat masyarakat, kelompok atau organisasi tidak harus dicarai dalam strktur relasi-relasi yang tetap, melainkan dalam proses aksi yang sedang berlangusng. Tanpa aksi setiap struktur relasional tidak dapat dipahami secara atomistis, melainkan sebagi aksi bersama, dimana unsur-unsur individual dicocokkan satu sama lain dan melebur.
       Michael Burgoon dan Michael Ruffner (dalam Djuarsa Sendjaja, 1994) memberi batasan komunikasi kelompok sebagai interaksi tatap muka dari tiga atau lebih individu guna memperoleh maksud atau tujuan yang dikehendaki seperti berbagi informasi, pemeliharaan diri atau pemecahan masalah sehingga semua anggota dapat menumbuhkan karakteristik pribadi anggota lainnya dengan akurat.
Ada empat elemen yang tercakup dalam definisi di atas, yaitu:
* Interaksi tatap muka, terminologi tata muka mengandung makna bahwa setiap anggota kelompok harus dapat melihat dan mendengar anggota lainnya dan juga harus dapat mengatur umpan balik secara verbal maupun nonverbal dari setiap anggotanya.
* Jumlah partisipan yang terlibat interaksi, jumlah anggota komunikasi kelompok berkisar antara 3 – 20 orang. Pertimbangannya, jika jumlah partisipan melebihi 20 orang, kurang memungkinkan berlangsungnya elemen interaksi tatap muka.
* Maksud dan tujuan yang dikehendaki, bermakna bahwa maksud atau tujuan tersebut akan memberikan beberapa tipe identitas kelompok. Misal: kalau tujuan kelompok tersebut adalah berbagi informasi, maka komunikasi kelompok yang dilakukan dimaksudkan untuk menanamkan pengetahuan .
* Kemampuan anggota untuk dapat menumbuhkan karakteristik pribadi anggota lainnya. Ini mengandung arti bahwa setiap anggota kelompok secara tidak langsung berhubungan satu sama lain dan maksud/tujuan kelompok telah terdefinisikan dengan jelas, disamping itu identifikasi setiap anggota dengan kelompoknya relatif stabil dan permanen.
      Kelompok primer maupun sekunder dalam keberadaannya memiliki karakteristik tertentu. Karenanya, memahami karakteristik yang ada merupakan langkah pertama untuk bertindak lebih efektif dalam suatu kelompok di mana kita ikut terlibat.Terdapat dua karakteristik yang melekat pada suatu kelompok, yaitu norma dan peran.
      Norma kelompok adalah persetujuan atau perjanjian tentang bagaimana orang-orang dalam suatu kelompok berperilaku satu dengan lainnya. Kadang-kadang norma oleh para sosiolog disebut juga dengan hukum atau aturan, yaitu perilaku-perilaku apa saja yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan dalam suatu kelompok. Ada tiga kategori norma kelompok, yaitu norma sosial; prosedural; dan tugas. Norma sosial mengatur hubungan di antara para anggota kelompok. Sedangkan norma prosedural menguraikan dengan lebih rinci bagaimana kelompok harus beroperasi, seperti bagaimana suatu kelompok harus membuat keputusan, apakah melalui suara mayoritas ataukah dilakukan pembiacaraan sampai tercapai kesepakatan. Dan norma tugas memusatkan perhatian pada bagaimana suatu pekerjaan harus dilaksanakan.
========================
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB



Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments