» » Politik Ekonomi Media (kajian Kasus)

Politik Ekonomi Media (kajian Kasus)

Penulis By on 16 July 2010 | No comments

Politik Ekonomi Media : Oleh Hamzah Palalloi

BAB  I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
      Prilaku masyarakat di suatu wilayah dipengaruhi oleh intensitas informasi yang diterima oleh masyarakat di wilayah tersebut. Di sisi lain, kuantitas dan kualitas informasi yang beredar dan diterima oleh masyarakat dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi media yang terjadi di daerah tersebut. Media berfungsi  sebagai produsen informasi untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan dan keinginan masyarakat, maka perannya sangat strategis bagi pencapaian kesejahteraan.
      Pertanyaannya kemudian, dari manakah asal bisnis media lahir? Karena apakah, bisnis media dinilai buruk? Jika pers adalah cermin masyarakat, apakah hanya pers yang bertanggungjawab? Beberapa pertanyaan itu kini menjadi wacana hangat di masyarakat.
      Dengan judul yang seram, Budhiana misalnya menulis "The End of Journalism?"1 Isinya menyertakan sejumlah fakta bahwa media sudah kelewatan menggerecoki masyarakat. Berita-beritanya kerap bikin mual. Teknologi informasi (internet) malah menjerumuskan, dengan ketersediaan konten yang bisa merusak mental masyarakat. Sebut saja konten pornografi yang begitu mudah di akses anak-anak2.
      Beruntung, Budhiana--yang juga wartawan itu masih menyimpan harap. Ia masih menulis, 'mudah-mudah tidak', pada pertanyaan 'apakah ini berarti akhir dari jurnalisme?'
      Pendapat itu seperti menyambung pandangan lain yang diungkap pengamat pers. Leo Batubara, tokoh SPS (Serikat Penerbit Suratkabar), juga menyorot hal yang sama. Dengan bahasan yang beda, ia menyoal bisnis media. Ia menolak tudingan kolusi modal bermain di arena media (dalam kaitan RUU Penyiaran). Sebab, pertumbuhan pers Indonesia masih minim. Perlu ada suntikan modal, lewat 'kepemilikan silang media' atau konvergensi. Industri koran yang senen-kemis jumlah tirasnya, mewah harganya, akan terbantu.
      Akan halnya nanti akan muncul kepemilikan media yang cuma itu-itu saja orangnya, adalah hal lain. Sebab, 'kelompok-kelompok profesional seperti Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia, Majalah Tempo, Bisnis Indonesia, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka dan Bali Post akan menjadi lokomotif pertumbuh pers dengan bersinergi dalam konvergensi media. Merekalah yang memiliki knowledge journalists dan staf bisnis yang profesional'.
      Dua tulisan tersebut mengundang pemikiran ihwal perkembangan jurnalisme. Khususnya, di satu soal yang kini kian ramai dituding, yakni: bisnis media. Sebuah urusan yang tak bisa ditolak di zaman uang telah memutar mesin jadi mahluk sakti. Begitu banyak orang bicara bahayanya kapitalisme, begitu banyak pula kenyataan menyodorkan keampuhan industri.
      Jurnalisme pun tak urung ditarik. Pers, yang dulu banyak disakralkan oleh nilai idealismenya, pun ikut masuk ke dalam kancah bursa saham. Media, yang dulunya jadi gengsi intelektual, kini hadir bersama misi jualan iklan di tiap milimeter halaman koran dan majalah, di tiap sekon siaran tivi dan radio, di tiap inci tampilan layar situs internet.
      Perkembangannya bisa ditarik ke ranah Amerika, tempat udara liberalisme banyak diteriakkan. Ketika media Amerika menuding Osamah bin Laden, sebagai tokoh terorisme internasional, orang-orang mulai berpikir: apa media AS sudah jadi corong pemerintah? Sebab, sejak akhir 1970-an, berbagai pihak wanti-wanti pada gejala new propaganda model, propaganda model baru3.
      Pemikirnya, antara lain; Noam Chomsky dan Ed Herman (1979). Mereka was-was pada gerak masyarakat kapitalis-liberal, yang mulai kongkalingkong dengan gaya propaganda new. Gejalanya terlihat ketika bisnis media mulai diatur oleh tokoh-tokoh yang punya bedil dan uang.
      Para elite kekuasaan dan elit bisnis berkolaborasi mengatur isi media. Akibatnya, kebebasan pers, yang dijiwai asas demokrasi dari liberalisme, telah disusupi corong-corong propaganda segelintir orang. Setiap keping informasi telah disusupi kepentingan tertentu, Setiap suara berita telah dimodali kekuatan politik dan bisnis.
      Chomsky (1987) malah mulai menganalisa adanya konspirasi para elite yang melakukan kontrol pemberitaan dan informasi. Media menjadi alat kepentingan politik, ekonomi, militer dan kultur kalangan eksklusif National Security State. Para penjaga gawang (gatekeepers) media menjadi pion profit-making politisi dan industriawan.
      Dengan kata lain, politik bisnis media mengatur pemberitaan sesuai keinginan pejabat (atas nama kepentingan bangsa) dan pedagang (atas dasar pertumbuhan ekonomi). Apakah gejala itu itu timbul mendadak?
      Itulah sekelumit pertanyaan, dimana kita perlu memaknai dan mencari sebuah jawaban dari pertanyaan, seperti apakah Politik Ekonomi Media? Bagaimana teory dan sejarah yang melatar-belakanginya.

1.2. Rumusan Masalah
      Bertolak dari fenomena-fenomena tersebut di atas, maka dirumuskalah pokok permasalahan yang hendak dicapai dalam tulisan ini, sebagai bentuk pencerahan dari Teori Politik Ekonomi Media, khususnya yang terjadi di Indonesia ini adalah; 
      “Bagaimana Teori Politik Ekonomi Media itu dalam kondisi teraktual dewasa ini?”
      Sementara Tema aktual yang akan dipaparkan dan dianalisa dalam tulisan ini adalah;
      “Metro TV versus TV One, Ekonomi dan Kekuasaan”
     
BAB  II
KERANGKA TEORI
2.1. Paradigma
      Membahas Teori Politik Ekonomi Media, maka paradigma atau perspektifnya tergolong Paradigma Teori Kritis. Sebuah paradigma yang lahir sebagai koreksi dari pandangan konstruktivisme dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional4.
    Analisa teori ini tidak dipusatkan pada kebenaran atau ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti konstruktivisme. Analisa kritis menekankan pada konstalasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.
      Meski demikian antara Teori Kritis ini bisa dikatakan sama dengan paradigma konstruktivisme, karena teori ini meyakini bahwa ilmu pengetahuan itu di konstruksi atas dasar kepentingan manusiawi, dan dalam metode analisis yang digunakan, interpretasi, kesimpulan dan rekomendasi.
      Kendati demikian, Aliran Teori Kritis ini sebenarnya tak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih tepat disebut ideologically orientied inqury, yaitu suatu wacana idiologis dengan paha tertentu. Indologi ini meliputi, Neo Marxisme, materialisme, feminisme, Freirisme, partisipatory inqury, dan paham-paham yang setara5.
      Dalam konteks kemajuan dunia teknologi informasi dewasa ini, media telah masuk dalam ranah perspektif teori kritis, karena media hanya dikuasai oleh kelompok dominan, dan menjadi sarana untuk memojokkan kelompok yang lain. Bahkan hasil kerja media itu sendiri telah mencerminkan idiologi wartawan dan kepentingan sosial, ekonomi dan politik tertentu.
     
2.2. Teori
      Beberapa teori yang bisa digunakan dalam pendekatan Teory Politik Ekonomi Media, sangat terkait dengan pendapat Garnham yang mengemukakan beberapa asumsi yang menjadi kerangka berpikir dari teori politik-ekonomi media, yaitu:
     
“An approach which focuses more on economic structure than on ideological content of media; It asserts the dependence of ideology on the economic base and directs research attention to the empirical analysis of the structure of ownership and to the way media market forces operate; From this point of view, the media institution has to be considered as part of the economic system though with close links to the political system; The predominant character of the knowledge of and for society produced by the media can be largely accounted for by the exchange value of different kinds of content, under conditions of pressure to expand markets, and by the underlying economic interests of owners and decision makers”6
(Sebuah pendekatan yang lebih memfokuskan pada struktur ekonomi daripada isi ideologi media; Teori ini menyatakan ketergantungan ideologi pada dasar ekonomi dan menunjukkan perhatian penelitian pada analisis empiris terhadap struktur kepemilikan dan mekanisme kerja kekuatan pasar media; Dari sudut pandang ini, institusi media harus dipertimbangkan sebagai bagian dari sistem ekonomi yang berkaitan dengan sistem politik; Kualitas pengetahuan yang diproduksi media untuk masyarakat, sebagian besar dapat ditentukan oleh pertukaran nilai berbagai macam isi di dalam kondisi yang memaksakan perluasan pasar, dan di bawah kepentingan ekonomi dan pembuat kebijakan).
      Teori Politik-Ekonomi Media (political-economic media theory) bisa dikategorikan salah satu akar dari teori makro komunikasi massa. Secara komprehensif, Teori Politik-Ekonomi Media memusatkan perhatian bahwa media massa sebagai bagian dari suatu industri yang mempunyai kaitan erat dengan aspek ekonomi dan politik. Aspek ekonomi bisa dirumuskan dengan bagaimana media menjual atau memasarkan isi berita.
      Di dalam pemikiran ini, isi berita pada media bisa disebut sebagai sebuah komoditi untuk dijual ke pasar. Tetapi, isi berita suatu media dikontrol oleh apa yang diinginkan pasar. Di sinilah kekuatan pasar sebagai bagian dari sistem ekonomi memiliki pengaruh terhadap isi berita media massa.
      Sedangkan hubungan antara institusi pers dengan aspek politik bisa ditinjau dari struktur kepemilikan media dan ideologinya. Namun, tidak dapat disangkal bahwa institusi pers memiliki ketergantungan dan bahkan lebih dekat dengan sistem politik (pembuat kebijakan) suatu negara. Maka dari itu, aspek ekonomi dan politik selalu mempengaruhi pemberitaan sebuah media baik cetak maupun elektronik7.
    Hal lain, ketika membahas media, maka kita tak pernah lepas dari apa yang disebut Theories of the Press /empat teori pers (Siebert,Peterson dan Schram, 1956)8. Penulisnya membagi pers di dunia dalam empat kategori: otoriter, liberal, tanggung-jawab sosial dan totaliter-Soviet. Kesemuanya merupakann ‘Teori Normative”, yang berasal dari pengamatan, bukan hasil uji dan pembuatan hipotesis dengan menggunakan metode sosial.
Teori-teori dimaksud antara lain;

1. Teori Otoriter :
     Teori ini mengatakan pers yang mendukung dan menjadi kepanjangan tangan pemerintah yang berkuasa dan melayani Negara. Mesin cetak harus memperoleh izin dan dalam beberapa kondisi harus mendapat hak pemakaian khusus dari kerajaan atau pemerintah agar bisa digunakan dalam penerbitan.
     Melalui penerapan hak khusus, lisensi, sensor langsung, dan peraturan yang diterapakan sendiri dalam tubuh serikat pemilik mesin cetak. Individu dijauhkan dari kemungkinan mengkritik pemerintah yyang berkuasa. Dalam system otoriter, pers bisa dimiliki secara public atau perorangan. Namun demikian sebagai alat untuk menyebarkan kebijakan pemerintah.

2. Teori Liberal:
     Teori liberal pers berkembang sebagai dampak dari masa pencerahan dan teori umum tentang rasionalisasi serta hak-hak alamiah dan berusaha melawan pandangan yang otoriter.
     Dari tulisan Milton, Locke, dan Mill dapat dimunculkan pemahaman bahwa pers harus mendukung fungsi membantu menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah sekaligus sebagai media yang memberikan informasi, menghibur dan mencari keuntungan.
     Dibawah teori liberal, pers bersifat swasta dan siapapun yang mempunyai uang yang cukup dapat menerbitkan media.9

3. Teori Tanggungjawab Sosial   Di abad ke-20 di Amerika Serikat, ada gagasan yang berkembang bahwa media satu-satunya industri yang dilindungi Piagam Hak Azazi manusia, harus memenuhi tanggungjawab sosial.
   Teori ini mengatakan bahwa setiap orang yang memiliki sesuatu yang penting untuk dikemukakan harus diberikan hak dalam forum, dan jika media dianggap tidak memenuhi kewajibannya, maka ada pihak yang harus memaksanya. Dibawah teori ini, media di control oleh pendapat masyarakat, tindakan konsumen, kode etik professional, dan dalam hal penyiaran, diontrol oleh badan pengatur mengingat keterbatasan teknis pada jumlah saluran frekuensi yang tersedia. (Siebert,Peterson dan Schram, 1956)10
4. Teori Totaliter Soviet   Sementara itu, teori otoriter pers di banyak Negara berubah menjadi teori Totaliter-Soviet. Soviet berpandangan bahwa tujuan utama media adalah membantu keberhasilan dan kelangsungan system soviet. Media di kontrol oleh tindakan ekonomi dan politik pemerintah dan badan pengawas dan hanya anggota partai yang loyal dan anggota partai ortodoks saja yang bisa menggunakan media secara regular. Media dalam system Sovyet dan di control oleh Negara dan hanya sebagai kepanjangan tangan Negara.
   Sejak Four Theories of the Press ditulis, telah banyak perubahan di Negara-negara sosialis. Tahun 1980-an, di Negara China, kepemilikan surat kabar secara pribadi diperbolehkan dalam skala tertentu. Semua kritikan dapat di toleransi, khususnya jika itu merupakan kritikan pada individu atau kebijakan lokal yang dapat meronrong tujuan program Negara.
           
BAB III
ANALISIS KASUS
3.1. Kasus Aktual
      Menarik untuk menjadi cermatan sebagai kasus teraktual dewasa ini dengan berpedoman pada rumusan masalah yakni “Bagaimana Teori Politik Ekonomi Media itu dalam kondisi teraktual dewasa ini?” maka penulis mengambil satu tema khusus berjudul “Metro TV versus TV One, Ekonomi dan Kekuasaan”
     
3.2. Analisis Kasus
3.2.1. Metro TV dan TV One sebagai Televisi Berita      Sebelum mengurai bagaimana peran kedua seusai tema pembahasan, kedua media telah mengklaim dirinya sebagai Televisi Berita (TV News) di Indonesia. Metro TV yang lahir 25 Oktober 1999 dalam visinya menyebutkan dengan gamblang bahwa media ini ingin menjadi stasiun televisi dengan peringkat nomor satu untuk berita, menawarkan kualitas dan program hiburan gaya hidup.11.
      Halnya dengan TV One, programa siaran yang ditawarkan sejak kelahirannya 14 Pebruari 2010 (sebelumnya bernama La Tivi) lalu langsung memasang slogan “terdepan mengabarkan” sebagai branding media ini12. Meski baru berumur kurang lebih setahun, tetapi TV One mampu menempatkan dirinya di hati pemirsanya, sehingga ketika ada peristiwa menarik, TV One seolah tampil menjadi pesaing Metro TV.
      Menurut penulis, dalam segi kemasan memang terjadi perbedaan menyolok. Metro TV tampil dengan kesan eksklusif dan menawarkan informasi-informasi yang terkesan berkelas dengan gaya British, seperti halnya gaya penyampaian berita khas TVRI. Sementara TV One, terkesan lebih sederhana dan merakyat, dengan mencoba mengambil sisi lain dan lebih dekat di objek berita.
      Meski terjadi perbedaan kemasan, kedua media ini seolah ‘berebut’ menawarkan sisi-sisi menarik sebuah berita. Bahkan dilapangan kerap terjadi perebutan sumber berita. Namun demikian, dalam beberapa milis publik mengatakan kedua media ini lebih baik dari media TV lainnya yang kerap menyuguhkan informasi yang kurang mendidik13.
      Penegasan kedua media sebagai TV News terlihat pada konten siaran yang semuanya dikemas sebagai konten informasi.
    Terlepas dari daftar mata siaran yang ditawarkan, tampak ‘persaingan’ begitu ketat dalam menawarkan info-info yang disiarkan ke publik. Tentunya ini tidak terlepas dari siapa ‘aktor’ dibelakang kedua media ini, yang menjadikannya sebagai TV berita. Metro TV dikawal Suryapratomo sebagai News Director, mantan Pemimpin Redaksi Kompas. Tentu memiliki pengalaman dalam melihat engel berita yang layak disajikan ke publik.
      Sementara TV One, terdapat Karni Ilyas, mantan wartawan Majalah Tempo tahun 1978, yang dikenal sangat piawai mengelola sebuah media. Beberapa media cetak dan elektronik yang pernah di awaki olehnya, mengalami perubahan yang sangat signifikan. Seperti ANTV dan SCTV14.

3.2.2. Metro TV dan TV One, Kepentingan Dua Elit
      Terlepas media ini telah menyajikan informasi akurat kepada publiknya, kedua media ini tidak bisa dipungkiri adalah buah dari pertarungan dua elit nasional. Baik secara ekonomi maupun politik.  Surya Paloh sebagai Bos Metro TV dan Abu Rizal Bakrie sebagai Bos TV One, begitu tampak persaingannya dalam ‘memanfaatkan’ kebesaran media masing-masing.
      Hal itu tampak pada perebutan jabatan sebagai Ketua Umum Partai Golkar beberapa waktu silam. Iklan-iklan politik keduanya pun sudah mulai berhamburan diberbagai media, pertarungan politik keduanya pun melibatkan dua stasiun TV yang notabene adalah milik mereka masing-masing .
      Perang propaganda jelas terlihat dalam acara dan iklan yang ditayangkan kedua stasiun TV itu, dan kasus lumpur Lapindo menjadi produk dagangan politik keduanya, TV One menayangkan keberhasilan petinggi Lapindo dalam menyelesaikan ganti rugi korban Lapindo baik berupa iklan maupun dalam tayangan acara Apa Kabar Indonesia Malam dan Republik BBM. Sedangkan Metro TV menayangkan korban lumpur Lapindo yang belum terperhatikan seperti dalam acara Kick Andy.
      Inilah yang pernah ditulis Chomsky (1987)15 malah mulai menganalisa adanya konspirasi para elite yang melakukan kontrol pemberitaan dan informasi. Media menjadi alat kepentingan politik, ekonomi, militer dan kultur kalangan eksklusif National Security State. Para penjaga gawang (gatekeepers) media menjadi pion profit-making politisi dan industriawan. Dengan kata lain, politik bisnis media mengatur pemberitaan sesuai keinginan pejabat
      Media pun jadi terkesan tidak obyektif manakala para pemiliknya terlibat dalam perebutan jabatan, karena cenderung menjadi mesin propaganda para pemiliknya. Bahkan ketika Abu Rizal Bakri menjadi Menko Kesra, pembenaran teori otoriter media bagi TV One terkesan hadir, dimana media ini tak mampu melakukan kritik berlebihan pada Negara, sebab pemodalnya adalah bagian dari sebuah kekuasan.
     
3.2.3. Metro TV dan TV One, SBY Juga?
      Relasi dan rivalitas antara Surya Paloh, Aburizal Bakrie dan SBY memikat perhatian publik. Ada yang menarik jika kita memperhatikan pemberitaan televisi akhir-akhir ini terutama antara dua televisi pemberitaan nasional yaitu Metro TV dan TV One. Dimana dalam saat yang sama terdapat perbedaan tema/isu yang diangkat ke publik oleh kedua stasiun televisi itu.
      Setelah surut dari berlomba menyajikan bencana alam Gunung Merapi, isu bergeser ke masalah politik. Kasus Gayus Tambunan muncul kembali ke permukaan. Pada awalnya saat Gayus tertangkap kamera wartawan sedang menonton pertandingan tenis di Bali, kedua stasiun TV ini terlihat masih berusaha berlomba untuk menyajikannya lebih baik ke publik. Tapi kemudian TV One mulai terlihat sedikit bingung setelah muncul isu pertemuan Gayus dengan AburizalBakrie di Bali. Peluang besar menyiarkan klarifikasi masalah ini disia-siakan, karena ‘sang boss’  tidak mau secara khusus dan terbuka menyangkal pertemuannya.
      Sementara itu Metro TV mulai makin hot memblow-up kasus ini, terutama saat menyiarkan kesaksian Gayus saat persidangannya dimana ia mengaku diberi uang oleh tiga perusahaan milik group Bakrie. Saat polisi hanya mampu membuktikan bahwa kasus Gayus hanya kasus gratifikasi semata, kekecewaan mengenai hal ini sangat keras disuarakan Metro TV dalam pemberitaan, tajuk atau diskusi. Hal yang sama sedikit sekali dilakukan oleh TVone.
      Bersamaan dengan berkembangnya kasus Gayus, konflik pusat-daerah terkait rencana Pilkada dalam pengangkatan Gubernur DI Yogyakarta juga mulai membesar. Isu yang ditiup langsung oleh Presiden SBY ini juga disajikan dengan cukup signifikan oleh Metro TV, sedangkan TV One yang pada awalnya juga berusaha mengangkat masalah ini, perlahan terlihat mulai mengendur.. Dan saat ini, dimana suara-suara yang menyuarakan kekecewaan terhadap kepolisian dan Presiden SBY semakin kencang terdengar, TV One malah terlihat sangat konsen luar-dalam untuk memberitakan sepak terjang Timnas PSSI di Piala AFF serta berusaha mengangkat berita tertangkapnya tersangka teroris Abu Thalut ke publik yang belakangan muncul di tengah-tengah gemuruh kekecewaan politik itu.
      Terlepas dari yang mana dari berita-berita tersebut yang lebih menarik perhatian publik atau lebih menjual atau lebih penting, yang jelas dari kondisi ini makin memperlihatkan pertarungan politik antara Surya Paloh dan Aburuzal Bakrie secara langsung. Dari sini pula bisa kita menebak-nebak dimana posisi SBY kira-kira dalam pertarungan keduanya.

3.2.3.1. Sandera
      Siapa tidak kenal AburizalBakrie?. Beliau ini adalah bos Bakrie Ggroup. usahanya ada diberbagai bidang. media, pertambangan, telekomonikasi, dan banyak lagi. terbayang bagaimana kebingungan beliau menghabiskan gelontoran uang tiap harinya. atau sebaiknya tidak dihabiskan, ditabung saja untuk bekal masa tua kelak.
      AburizalBakrie ini juga bos Golkar. Ketua Umum. Saat pertama kali mencalonkan menjadi ketua umum, tidak sedikit yang pesimistis akan kemampuan nya. bahkan, banyak yang mengkait-kaitkan pada kehancuran Golkar ke depan, karena dengan terpilihnya Aburizal Bakrie ini banyak yg beranggapan sama saja bunuh diri politik yang dilakukan Golkar.
      Indikasinya jelas, ketika seorang pemimpin itu butuh pencitraan sebagai bahan bakar mesin politik, maka kehadiran Aburizal Bakrie di golkar apalagi sebagai ketua umum sedikit banyak akan mempengaruhi citra Partai Golkar.
      Kasus lumpur Lapindo adalah citra buruk bagi Aburizal. bagaimana tidak, kasus ini membuat masyarakat Jawa Timur khususnya Sidoarjo menderita. banyak industri merugi, masyarakat kehilangan tempat tinggal, anak-anak kehilangan sekolah, dan hal merugikan lainnya. sampai saat ini lumpur Lapindo belum juga berhenti.
      Terlepas dari masalah Lapindo tersebut di atas, ada yang menarik apa yang dilakukan Aburizal belakangan ini. Sikap tegasnya belakangan ini sebagai ketua umum salah satu partai besar perlu mendapat apresiasi tersendiri. Kasus Bank Century yang menyedot perhatian publik beberapa bulan terakhir ini semakin membuat panas peta politik di Indonesia. Yang menarik manakala Golkar bersikap kritis terhadap pemerintahan yang ada sekarang, padahal kita semua tahu, semenjak terpilihnya Aburizal menjadi ketua umum Golkar, ia menyatakan bahwa Golkar adalah mitra pemerintah, sebutlah bagian koalisi dengan presiden terpilih, SBY.
      Adanya koalisi ini awalnya membuat kita berpikir bahwa Golkar tidak akan lagi bersikap kritis. apa yang disampaikan oleh presiden tentu akan diamini oleh Golkar. Menariknya, justru beberapa hari ini terjadi perselisihan sengit antara Aburizalsebagai nakhoda Partai Golkar dengan SBY dan Partai Demokrat sebagai pengusung utama koalisi. Adanya indikasi penyimpangan dan kesalahan dalam kasus bank century membuat golkar harus memilih. apakah tetap mengamini setiap apa yang disampaikan oleh mitra koalisinya dalam hal ini presiden SBY atau berani mengungkapkan fakta lapangan yang ditemukan selama berjalannya panitia khusus Century. dan golkar lebih memilih membuka gamblang adanya penyimpangan dalam kasus Bank Century.
      Merasa terpojok dengan adanya isu pemakzulan, SBY segera mencari celah, mencari cara untuk menekan Golkar dan Aburizal  ini. munculah wacana pengemplang pajak. salah satu tertuduhnya ternyata adalah perusahaan-perusahaan Aburizal. Ada yang aneh manakala presiden dalam kasus ini terlihat panik. sampai-sampai kasus pajak yang selama ini tidak pernah mengemuka sekarang terkesan dibuka selebar-lebarnya.
      Menyikapi adanya gelagat tidak beres ini, Aburizal segera menyatakan bahwa Golkar tidak ada kaitannya sama sekali dengan kasus tunggakan pajak dan tidak takut terhadap ancaman-ancaman ini. inilah yang perlu diapresiasi dan mendapat simpatik publik. ternyata, beliau masih bisa bicara kebenaran. semoga Golkar dan Aburizal  ke depan tetap konsisten dan komit untuk memperjuangkan aspirasi rakyat dan mengusut tuntas segala penyimpangan yang terjadi dalam kasus century ini. begitupun dengan SBY, semoga beliau konsisten dan komit untuk menindak tegas setiap pengmplang pajak.

3.2.3.2. The Real Power?      Mulai terbukti Aburizal Bakrie memiliki ‘power’ politik, yang tak tanggung-tanggung. Semuanya diperlihatkan dengan sangat jelas kepada publik. Betapa Ketua Umum Golkar ini, sejatinya ‘the real power’ di Indonesia.
      Dengan sangat piawai Aburizal berhasil mengkosolidasikan partai-partai politik, melalui fraksi-fraksi mereka di DPR, yang kemudian mengambil keputusan opsi C dalam kasus bailout Bank Century, dan dengan keputusan itu, Menkeu Sri Mulyani Indrawati terdepak dari jabatannya, yang sekarang digantikan Dirut Bank Mandiri, Agus Martowardoyo.
      Kepergian Sri Mulyan Indrawati ke Washington, yang menjadi salah satu managing direktur dari Bank Dunia itu, tak lain, sebuah ‘strategic exit’, yang dispersiapkan dengan matang, yang akan menyelamatkan kekuasaan Presiden SBY. Semuanya berjalan dengan sangat lancar, tanpa kesulitan, dan sekarang Sri Mulyani sudah meninggalkan Indonesia, tanpa kasusnya yang melibatkan dirinya sebagai fihak yang bertanggung jawab tersentuh oleh hukum.
      Berikutnya, tindakan politik yang sangat mengejutkan, terbentuknya Sekretariat Gabungan (Setgab), yang diketuai Presiden SBY, dan AburizalBakrie sebagai ketua pelaksana harian. Ini menunjukkan betapa posisi Aburizalsangat ‘powerfull’ selain Presiden.
      Kebijakan dan keputusan politik yang diambil Presiden SBY, akhirnya menjadi sangat tergantung pada Aburizal, aplikatif atau tidak. Karena dia sebagai ketua pelaksana dalam Setgab. Maka, posisi Aburizal memiliki daya tawar (leverage) yang tinggi dalam politik.
      Semuanya itu semakin nampak jelas dalam episode politik berikutnya, yang sebenarnya ini menjadi sebuah ‘big question’, terutama bagi pandangan rakyat, yang masih mengharapkan ditegakkan hukum dan keadilan. Tetapi hukum dan keadilan akhirnya pupus oleh adanya kekuasaan. Segalanya dapat  dinegosiasikan, dan akhirnya menjadi selesai.
      Tidak salah yang mengatakan dengan terbentuknya Setgab itu, hanya melahirkan politik ‘kartel’, di mana dari hulu sampai ke hilir, keputusan politik dengan segala implikasinya hanya di tangan beberapa orang. Tentu yang paling mencolok, sesudah pengunduran Sri Mulyani, langsung kasus Bank Century, menjadi tidak ada lagi keinginan membawa ke ranah hukum.
      Hal itu bersamaan dengan keputusan politik yang diambil partai-partai koalisi yang mendukung pemerintahan SBY, dan melalui Setgab sudah menandatangani pernyataan yang tidak akan melanjutkan kasus Century itu sampai ke ranah hukum. Artinya, kasus Bank Century sudah ditutup.
      Padahal, sebelumnya mayoritas anggota DPR memilih opsi C, yang secara ekplisit menyebutkan adanya pelanggaran hukum, dan menyebutkan nama Sri Mulyani dan Boediono sebagai pihak yang bertanggung jawab. Tetapi, semuanya telah berakhir dengan tanda tangan para pemimpin partai politik,yang menolak kasus ke ranah hukum. Ini semuanya tidak terlepas dari peranan AburizalBakrie, yang melaksanakan kebijakan Presiden SBY.
      Presiden SBY memiliki pilar kekuasaan yang kokoh dengan dukungan Aburizal, yang nota bene ketua umum Golkar dan Partai Demokrat serta PAN. Sedangkan partai lainnya yang ikut mendukung sebagai faktor komplementer. Dapat diprediksikan dalam lima ke depan, sampai tahun 2014, pemerintahan ini akan menjadi stabil. Tetapi, tidak tertutup kemungkinan akan adanya perubahan sikap, seperti yang dialami hubungan antara Jusuf Kalla dengan SBY, diujung kekuasaan, sehingga menyebabkan sisa umur pemerintahan SBY tidak efektif.
      Golkar dengan sangat ‘canggih’ selalu memiliki ‘exit strategic’ keluar dari krisis, dan kembali dapat mengambil dan menggenggam kekuasaan. Hanya sebentar mengalami krisis, saat Soeharto lengser, tetapi faktanya Golkar tidak sampai punah, dan kini berjaya kembali, sesudah dua kali dapat menggenggam kekuasaan di era SBY.
      Saat Akbar Tanjung sudah tidak memiliki lagi pengaruh, maka Akbar ditendang di Kongres Bali, dan digantikan Jusuf Kalla, dan kepentingan Golkar dapat diselamatkan dengan adanya kekuasaan yang dipegang Jusuf Kalla, yang menjadi wakil presiden, sekaligus menjadi ketua umum Golkar.
      Episode sejarah tergambar, bagaimana Jusuf Kalla tersingkir dari kekuasaan, tetapi faktanya kekuasaan yang ada tetap bergantung kepada Golkar, sekalipun Aburizal tidak duduk di ekskutif, tetapi sebagai ketua umum Golkar dengan suara yang besar di parlemen, SBY mempunyai kepentingan yang besar pula  kepada Golkar. Hal ini terbukti dengan digenggamnya jabatan sebagai Ketua Setgab oleh Aburizal Bakrie.
      Terakhir, pendapat para pengamat yang mengatakan dengan adanya Setgab itu, melahirkan politik kartel itu tidak salah. Bagaimana Mahkamah Agung, menolak peninjauan kembali (PK) perkara yang diajukan Direktur Jendral Pajak atas kasus tunggakan pajak PT. KPC senilai Rp1,5 triliun, yang merupakan anak perusahaan dari PT.Bumi Resources, yang tak terlepas dari Aburizak Bakrie, dan kasus itu telah diputus Mahkamah Agung tanggal 24 Mei lalu.

BAB  IV
KESIMPULAN DAN KRITIK
1.3. Kesimpulan
      Setelah melakukan analisa Teori Politik Ekonomi Media melalui tema ‘Metro TV versus TV One, Ekonomi dan Kekuasaan’ maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai pengembangan teori-teori media yang ada, bahwa media secara institusi cenderung tergantung kepada siapa pemilik media itu.
      Kedekatan pemilik media dengan jejaring kekuasaan, akan mempengaruhi bagaimana media itu bekerja, bagaimana media itu menyampaikan pesannya kepada publik, dan bagaimana media itu mengkonstruksi pikiran-pikiran publik.
      Kasus Metro TV dan TV One, memperlihatkan kebenaran Four Theories of the Press. Media akan menjadi Otoriter (otoriter theory), jika pemilik media sangat dekat bahkan menjadi bagian dari pemerintah, akibatnya, media menjadi perpanjangan tangan pemerintah yang berkuasa.
      Media pun tidak sekedar menjadi alat informasi, pendidikan dan hiburan  tetapi menjadi wahana para kapitalis (Liberal Theory) untuk melanggengkan kerajaan bisnisnya, dengan menjadikan media sebagai ‘tameng’ dan ‘peluru’ untuk mempertahankan dan memperluas jaringan ekonomi si pemilik media dan pihak-pihak yang terkait dengan media itu sendiri.
      Ketika Metro TV dan TV One berebut untuk mendapatkan berita seluas-luasnya dari publik, maka peran media disini adalah pemenuhan kebutuhan sekunder publik (Teori Tanggung Jawab Sosial).
      Namun lebih dari itu, ketika media dalam hal ini  Metro TV menayangkan durasi yang berlebihan tentang Surya Paloh dengan Nasional Demokrat-nya, serta TV One yang mengabarkan Aburizal Bakrie dengan Partai Golkarnya, kedua media ini seolah menjelma sebagai penganut Totaliter Soviet (Totaliter Soviet Theory), yang mana kedua media ini seolah di digunakan secara regular oleh anggota partai yang loyal tertentu.
      Dengan demikian, pendekatan teori-teori media yang ada, sangat dipengaruhi oleh siapa, bagaimana, dan apa yang ada disekeliling media itu sendiri. Independensi media, hanya dapat terlihat ketika media itu tidak terkait dengan pemilik media itu sendiri.
     
1.4. Kritik
      Dalam pengembangan teori-teori media, tidak cukup dengan sekedar merangkai media dengan teori-teori pers semata. Media sangat tergantung pada iklim politik dan idiologi sebuah negara. Di Indonesia, media cenderung menjadi lembaga yang kapitalis, dan sebagai ‘alat pemuas’ pemiliknya semata.
      Hal ini terjadi, karena negara tidak memiliki power yang kuat dalam membuat kebijakan dalam membatasi ruang gerak media, -- sebagai wahana informasi, wahana pendidikan dan wahana hiburan--. Di beberapa negara liberal, seperti Amerika dan Eropa, dan juga negara industri seperti China dan Jepang, media tetap diberi batas ‘idiologi’ tanpa menghilangkan kemerdekaannya dalam menyampaikan informasi seluas-luasnya kepada khalayak.
      Amerika misalnya, ketika menyatakan perang dengan Osama Bin Laden, maka media Amerika seolah menjadi corong pemerintah, demikian pula dengan Negara-negara Eropa, China dan Jepang,  media mereka tetap bersemangat mempertahankan nasionalism dan kebesaran bernegara, tanpa menghilangkan fungsi media sebagai agen perubah (agent of change) dan agen pengontrol (agen of control)
    Di zaman Orde Baru, media Indonesia memang ‘terpaksa’ menjadi penganut otoriter Theory, karena semua yang disuarakan media melalui pengawasan pemerintah. Tapi satu hal yang baik dari zaman itu, bahwa media Indonesia memiliki semangat nasionalime yang tinggi. Informasi tidak segamblang saat ini, yang bisa merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pertanyaannya kemudian? Seperti apa harusnya media-media di Indonesia? Butuh penelitian khusus dan lebih mendalam tentang hal ini.
oo00oo



DAFTAR PUSTAKA

Burhan, Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta, Kencana Pradana Media Group. 2007
Choamsky, Noam, Knowledge of Language: Its Nature, Origin and Use, Semantics and Cognition, 1987
Dozier, David M. dkk, Managers Guide to Excellence in Public Relation and Communication Management, 1995
Elvinaro Ardianto&Bambang Q-Aness, Filsafat Ilmu Komunikasi,Rosdakarya, Bandung 2007
Littlejohn, Stephen W., Theories of Human Communication, by,  2010.
Miller, Katherine, Communication Theories, 2005
McQuail, Dennis. 1987. Mass Communication Theory: An Introduction. London and New Delhi: Sage Publications.
Richard West dan Lynn H. Turner, Introducing Communication Theory, Analysis and Aplication
Santana, Septiawan. Politik Bisnis Media, Pajajaran-Bandung 2010
Saverin-Tangkard, Teori Komunikasi-sejarah metode dan terapan di dalam media massa-edisi-5. Kencana-Jakarta. 2008
---------------------------------------------------------------------------------------------
Opini Harian Pikiran Rakyat tertanggal 21 Januari 2011 dan
Pemberitaan RCTI, TV One, MNC TV, Metro TV tanggal 31 Januari 2011
---------------------------------------------------------------------------------------------
http://www.metrotv.news.com
http://id.wikipedia.org/wiki/TvOne
http://forum.detik.com/tv-one-dan-metro-tv-t180087p3.html
http://www.jambiindependent.co.id
1 Opini Harian Pikiran Rakyat tertanggal 21 Januari 2011 dan
2 Pemberitaan RCTI, TV One, MNC TV, Metro TV tanggal 31 Januari 2011
3 Septiawan Santana, Politik Bisnis Media, Pajajaran-Bandung 2010
4 Elvinaro Ardianto&Bambang Q-Aness, Filsafat Ilmu Komunikasi,Rosdakarya, Bandung 2007:56
5 Denzin dan Guba. 2001:41
6 McQuail, Dennis. 1987. Mass Communication Theory: An Introduction. London and New Delhi: Sage Publications.

7 Burhan, Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta, Kencana Pradana Media Group. 2007
8 Saverin-Tangkard, Teori Komunikasi-sejarah metode dan terapan di dalam media massa-edisi-5. Kencana-Jakarta. 2008 hal.373
9 Saverin-Tangkard, 2008 : 376
10 ibid
11 www.metrotv.news.com
12 http://id.wikipedia.org/wiki/TvOne
13 http://forum.detik.com/tv-one-dan-metro-tv-t180087p3.html
14 http://www.jambi independent.co.id/jio/index.php?option=com_content&view=article&id=7735:karni-ilyas-dari-wartawan-koran-hingga-host-tua-yang-sering-muncul-di-tv&catid=25:nasional&Itemid=29
15 Noam Choamsky, Knowledge of Language: Its Nature, Origin and Use, Semantics and Cognition, 1987

Metro TV versus TV One, Ekonomi dan Kekuasaan (Teori Politik Ekonomi Media-UAS-Hamzah)

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments